Manusia pasti pernah ngerasain capek. Pernah ngerasain kecewa, terluka, dan marah. Manusia juga pasti pernah ngerasain bahagia, tertawa, senang, dan segala macam bentuk emosi yang ada dalam dirinya. Semua bentuk-bentuk emosi itu menandakan kalau kita masih "normal", masih menjadi bagaimana manusia yang seharusnya.
Seperti yang aku bilang tadi kalau manusia bisa capek, dan hari ini aku mau ngambil jatah capek itu. Kalian tahu kan kalau weekend itu nggak pernah menyenangkan? Ada yang sependapat sama aku nggak? Hehe :))
Aku cerita dulu ya hari ini, besok-besok kalau kalian mau reply ceritaku boleh banget kok!
Jauh di lubuk hatiku yang terdalam, aku selalu bertanya-tanya tentang kenapa sih aku harus diciptakan? Kenapa di dunia ini harus ada "Zabrina Mahardika Putri"? Pasti kalian bakal jawab: "Ya kan Allah menciptakan manusia untuk berpasang-pasangan dan untuk beribadah kepada-Nya?" Iya sih, itu benar banget, maksudku gini, ruang lingkup "ibadah" ini kan luas, nggak bisa dikhususkan menjadi salat lima waktu, puasa, zakat, dan lain-lain. Aku yakin maksud firman Allah tentang "beribadah" tuh nggak hanya itu.
Lalu pertanyaannya sekarang, apakah benar aku sudah beribadah sesuai dengan yang Allah firmankan dalam Al-Quran? Apakah aku benar-benar sudah menjadi makhluk yang seutuhnya? Apakah aku benar-benar tunduk dan taat pada perintah Tuhan? Entahlah, aku sendiri tidak tahu jawabannya.
Penyebabnya adalah, aku bingung pada diriku sendiri. Aku bingung kenapa Tuhan menitipkan aku di "keluarga" ini, aku kan tidak bisa memilih ya mau dilahirkan di keluarga macam apa. Dan katanya, Tuhan lah yang tahu kenapa aku bisa berada di sini. Tempat yang sejujurnya, aku takuti, yang tidak bisa kurasakan kenyamanan di dalamnya. Tempat yang terlalu jauh untuk kudekati meski dengan berbagai cara aku berusaha memahami jalan pikirannya.
I am just a human. Manusia yang senantiasa bertanya-tanya, kenapa sih, rasa sedih juga harus diciptakan? Aku sampai sekarang berpikir kalau emosi terburuk yang diciptakan itu yang emosi negatif seperti sedih, kecewa, marah, dan lain-lain. Kenapa emosi ini harus diciptakan?
Soalnya gini, kalau memang di firman Allah disebutkan harus mematuhi orang tua, kalau misalnya orang tua menyakiti perasaan kita, kita pasti nggak boleh marah kan? Soalnya restu orang tua ya restunya Allah. Tapi kan sebagai manusia yang diberikan berbagai macam emosi, ya pasti kita kan bakal merasakan emosi itu (marah, kecewa, dsb)? Tapi di satu sisi dilema karena nanti bakal muncul kata "anak durhaka".
Emang iya ya? Anak bisa durhaka, sedangkan orang tua nggak bisa? Jadi kalau orang tua menyakiti perasaan anaknya sampai anaknya trauma belasan tahun, itu bisa dimaafkan dan nggak boleh disebut orang tua durhaka? Itu yang aku bingungkan.
Serius, aku bertanya seperti ini karena merasa bingung dan tertekan. Seolah-olah aku dipaksa untuk memaafkan perkataan yang sebenarnya secara tata bahasa juga nggak baik untuk diucapkan bahkan kepada orang yang seumuran.
Aku pernah salah. Aku pasti pernah salah ke mereka. Aku malas, aku nggak bisa olahraga, aku bantu orang tua tuh jarang banget. Tapi kalau lagi sendirian ternyata aku bisa mandiri kok. Ternyata ketika orang tua nggak ada di rumah, aku ngerasa bahagia, aku ngerasa bebas. Aku ngerasa kalau hidup sendiri yang pada awalnya menyebalkan tuh ternyata menyenangkan.
Aku punya alasan untuk semua itu, alasan yang selalu orang tua simpulkan sebagai "ya kan itu kamu malas doang?". Atau "mana ada orang yang meragukan dirinya sendiri apalagi Tuhan?" seolah-olah pemikiranku ini nggak beres dan nggak boleh aku berpikir demikian.
Lah, wong, aku meragukan Tuhan karena ya kenapa Tuhan lahirin aku di keluarga kalian? Kenapa Tuhan harus lahirkan aku di keluarga ini? Keluarga yang membuat luka-luka tumbuh dalam diriku, aku jadi anak yang kebingungan kenapa aku bisa seperti ini. Aku jadi anak yang tumbuh dengan dendam terhadap orang-orang yang aku sayang.
Lingkunganku selalu bilang, "Gimana pun dia orang tuamu, yang membesarkanmu." Iya, aku tahu. Kalaupun yang lahir di keluarga ini bukan aku, orang tuaku juga bakal ngebesarin anaknya kok, karena hal itu namanya tanggung jawab, bener kan?
Terus gini, katanya kan kasih sayang orang tua tuh tulus ikhlas, tapi ada loh orang tua yang bilang kalau anaknya harus sukses karena mereka sudah susah-susah membesarkan anaknya, jadi, konsep tulus ikhlas ini cuma bullshit kah? Berarti kalau kita punya anak, wajib untuk anak tersebut jadi "sukses" seperti definisi yang diinginkan orang tuanya? Beginikah?
Aku rasa, ini konsep yang salah nggak sih. Seorang anak yang dibesarkan pun, semakin dewasa dia, dia akan sadar tanggung jawabnya kok. Tanpa perlu orang tuanya bilang "kamu harus sukses", sang anak yang sudah belajar menjadi dewasa pasti paham dengan tanggung jawabnya. Hanya saja, kalau itu benar-benar diucapkan, aku rasa ada kemungkinan akan melukai hati si anak karena kalimat itu mengindikasikan bahwa anak tidak akan ikhlas.
Jujur, setiap aku ditanya apa alasanmu masuk Psikologi? Aku selalu jawab bahwa jurusan ini sesuai passion ku lah, blablabla. Iya sih, itu nggak salah, tapi bukan itu alasan utamanya. Aku tahu hal yang salah dalam hidupku harus diputus, jadi aku mengubur mimpiku untuk jadi penulis atau kuliah jurusan Ekonomi karena aku tahu, masuk Psikologi adalah satu-satunya jalan yang bisa aku ambil untuk memutus salah kaprah ini.
Aku nggak mau kebingunganku makin berlanjut, aku sadar ada yang nggak beres dalam diriku yang bisa diberesin dengan bantuan orang tuaku (karena justru merekalah penyebabnya). Aku konseling ke psikolog, aku mendamaikan hatiku, aku terapkan love yourself yang aku dapat dari lagu BTS, dan aku masuk Jurusan Psikologi.
Baru pertama menerima mata kuliah di Psikologi, aku langsung sadar bahwa ternyata Tuhan tuh berperan banget. Tuhan nggak mau aku makin bingung atas hidupku sendiri. Ketika masuk di sini, untuk dua minggu pertama ini, aku nggak menyesal. Aku malah merasa bahwa ternyata Fakultas Psikologi UGM adalah rumah baruku. Rumah tempatku bernaung yang sebenarnya (?), yang bisa aku ajak cerita tentang kapasitas dan jatah manusiaku. Tentang kenapa aku harus hidup dan bertahan.
Iya, karena aku diciptakan untuk bisa bermanfaat dan berbagi untuk sesama. Itulah "ibadah" yang sebenarnya Tuhan sebutkan dalam firman-Nya. Bahwa aku adalah makhluk ciptaan-Nya yang berharga, yang akan mengubah hidupnya sendiri dengan cara yang Tuhan tunjukkan. Aku bukan makhluk gagal kok. Iya kan? Setiap manusia juga bukan makhluk gagal.
Tapi manusia bisa jadi makhluk tidak berguna kalau hidupnya dihabiskan dengan terus mengurusi orang lain. Dengan terus mencela, menghina, dan mengata-ngatai kekurangan orang lain tanpa melihat bahwa dirinya juga sama buruknya. Terus mengatakan jurusan kuliah orang lain buruk padahal dia sendiri bukan lulusan kampus yang terkenal pula (ups!).
Mencintai diri sendiri adalah bagian dari menyadari bahwa "I am just a human". Bahwa manusia itu tidak pantas untuk diperlakukan tidak baik. Terakhir, setelah aku berhasil menulis curhatan ini (wkwk), aku kemudian menyadari kalau ternyata alasan Allah menciptakan emosi marah dan kecewa itu sama dengan alasan Allah menciptakan emosi senang dan tertawa, karena, dalam hidup memang hanya dua sisi kan? Dan kita memang didesain untuk merasakan kedua sisi itu. Jadi, nikmatilah selagi kamu berada di satu sisi yang Allah tempatkan. Karena di sana, banyak pelajaran yang mungkin tidak kamu dapatkan di sisi yang lain.
Oh ya, dan terakhir, untuk Risma Dewi Yana, kalau aku ke Yogyakarta, kamu jangan nangis ya. Kamu tahu kan seberapa besar peranmu bikin aku bertahan di dunia. Jangan menyerah, ya. Kita baru saja memulai petualangan untuk menjadi dewasa.
Spread love, Spread Jaehyun, Spread Mark, hehe.
28/8/21
