Aku Capek, Tapi Aku Nggak Mau Nyerah
"Ya, terima kasih. Maaf ya, waktu itu aku nggak jawab apa pun karena bingung mau jawab apa."
Wah, aku senang sekaligus sedih saat membaca itu. Lalu, karena aku bingung, aku balas saja dengan "Iya, nggak pa-pa". Dan chat itu pun berakhir. Tanpa apa-apa. Tanpa kejelasan perasaannya padaku, aku pun sudah menduga hal ini akan terjadi. Selalu dan selalu. Perasaan tulusku tidak pernah terbalas. Setelah itu, selalu muncul pula pertanyaan, "Apakah karena wajahku yang biasa-biasa saja? Lagi-lagi karena ini?"
Oktober-ku diisi oleh kepanitiaan, acara UKM, tugas riset artikel, tugas kuliah, dan kebimbangan. Aku sering kali merasakan sesak di dada ketika memikirkan tugas-tugas yang serasa tiada henti. Aku kebingungan. Sejujurnya, aku ingin bercerita bahwa dadaku sakit. Tapi aku tidak tahu mengapa dadaku sangat sakit, dan aku juga tidak tahu harus menceritakan apa dan kepada siapa. Aku memang selalu begini. Sejak kecil, lukanya tidak akan pernah sembuh. Tidak ada yang sadar sebelumnya tentang luka ini. Orang tuaku juga tidak akan sadar. Mereka hanya mengenal anaknya sebagai "anak tunggal manja yang tidak bisa apa-apa, yang selalu menuntut orang tuanya".
Kesedihanku kadang jadi "lelucon" mereka. Keraguanku akan hidup dan Tuhan, mereka jadikan lelucon. Traumaku selalu dibalas dengan perkataan "Hanya karena segelintir kesalahan, kamu melupakan jasa kami". Aku sudah terlalu lelah. Aku sudah berupaya, sangat berupaya, berupaya menyampaikan isi hatiku. Berupaya berani untuk mengurangi beban di hati dan pikiranku. Tapi rupanya, mereka tidak akan pernah mau tahu perasaanku. Mereka pikir, rasa sakit hatiku tidak ada. Mereka mengenalku sebagai anak yang pandai memanipulasi bicara, sebagai anak yang selalu menyalahkan mereka. Padahal sebenarnya sejak kapan sih, aku begitu? Aku masih ingat kok, setiap aku bercerita, mereka akan menyalahkan aku. Perasaanku ibaratnya sebuah benda khayal yang tak terlihat, fana, dan ceritaku adalah dusta belaka. Aku tidak merasa dekat dengan mereka. Aku tidak nyaman berada di sisi mereka. Aku "asing" di rumahku sendiri. Aku tidak percaya pada siapa pun, dan tidak ada siapa pun yang mempercayai aku di rumah ini. Aku tidak punya "rumah".
Permasalahan orang tuaku nampaknya tidak selesai-selesai ya? Selalu aku bahas di setiap tulisanku. Tapi kenyataannya memang begitu. Aku yang merasa lelah fisik setelah menghadapi perkuliahan dan acara non perkuliahan, semakin dibuat lelah dengan kebingunganku dengan pengabaian orang tuaku. Aku sebenarnya sudah terbiasa ditinggal orang tua bekerja sejak kecil. Itu tidak masalah. Aku memahami mereka bekerja keras "demi aku".
Tapi, aku tidak pernah terbiasa dengan pengabaian orang tuaku ketika bercerita. Aku jarang berkomunikasi dengan mereka. Apalagi dengan papaku. Hubungan kami sudah buruk sejak aku masih SD. Aku tidak tahu awal mulanya kenapa, aku sudah lupa penyebab pastinya. Tapi seingatku, aku kecewa padanya. Aku sudah lama tidak menganggapnya papaku, tidak tahu kenapa rasanya sakit saat menyebut namanya, mendengar suaranya, melihat wajahnya. Aku selalu teringat traumaku. Saat aku diteriaki, dimaki, dan dicaci. Aku masih terlalu kecil waktu itu. Tapi luka-lukanya membekas hingga kini. Luka yang nampaknya sulit untuk kusembuhkan. Bahkan meski papaku sekarang harus berjuang melawan kanker, aku belum bisa sepenuhnya memaafkan kesalahannya. Kata orang-orang, apa yang aku lakukan itu jahat. Tapi, aku juga terluka. Luka itu kupendam belasan tahun.
Jantungku berdebar kencang saat papa marah, meski bukan memarahiku. Telingaku terasa sakit saat papa berteriak, meski papa tidak berteriak padaku. Tanganku gemetar saat papa menatapku dengan tatapan marah atau tidak bersahabat. Dan setiap berada di satu ruangan dengan papa, aku selalu merasa tidak nyaman, dan berakhir pindah ruangan. Aku tidak pernah merencanakan melakukan hal sejahat itu. Tapi badanku merespons demikian. Singkatnya, aku terluka.
Bulan Oktober ini, aku beberapa kali berpikir untuk bunuh diri (lagi). Hanya terpikir. Saat aku tidak sengaja melihat ombak ganas, aku berpikir "Apa itu akan jadi kuburanku? Apa persemayaman terakhirku ada di situ?" Ah tidak tidak, begitu pikiranku menyanggah. Aku sudah berkomitmen bahwa aku harus hidup. Aku akan tetap hidup. Demi orang-orang yang peduli padaku. Demi Bu De ku yang begitu baik padaku semasa hidupnya. Demi Risma yang menemaniku di saat jatuh bangunku. Demi Shafna yang selalu memberikanku saran. Demi bias-biasku yang menjadi tempatku membuang lelah dan kecewaku.
Tahun ini, aku sudah mendapatkan hadiah besar yang selalu kunanti-nanti sedari lama. Aku masuk Psikologi UGM lewat jalur SBMPTN. Impian yang selalu aku tangisi sejak 2019. Impian yang selalu aku pertanyakan, apakah bisa terwujud. Impian yang berhasil aku wujudkan dengan kesungguhan diriku dan pertolongan Allah padaku. Impian besar yang diremehkan orang tuaku. Yang selalu diolok-olok mama dan papaku. Yang tidak pernah didukung. Yang menganggap anaknya tidak belajar. Yang menganggap anaknya tidak akan bisa masuk UGM. Yang meragukan kemampuan anaknya sendiri. Yang bukannya mendukung anaknya ketika gagal malah lebih memilih memojokkan dan menyalahkan anaknya karena tidak berhasil. Yang selalu menyalahkan pilihan jurusanku. Aku bisa bilang, aku berjuang sendiri. Aku hanya punya Allah. Aku tidak mengantongi restu orang tuaku. Tapi, aku ternyata bisa.
Meski aku harus menangis tiap malam. Meski kata-kata tidak mengenakkan dari orang tuaku, harus kuterima. Aku menangguhkan badanku. Aku pasang badan untuk semua keraguan, aku mengobarkan api semangat dalam dadaku, aku menggenggam pembuktian yang pada saatnya akan aku tunjukkan. Di keluarga ini, aku jarang diapresiasi. Aku selalu dievaluasi. Keluarga ini mengajarkan aku membenci diriku sendiri. Keluarga ini mengajarkan aku untuk terus melihat kekuranganku. Aku terluka, aku terluka, aku terluka. Tapi mereka tidak akan pernah percaya.
Mereka baik, mereka hebat. Semua orang tahu seberapa hebat papa. Tapi, maaf Pa. Bagiku, papa gagal jadi sosok ayah. Aku tahu papa baru sekali ini jadi orang tua. Tapi, Pa, kalau anak harus belajar dari kesalahan, kenapa orang tua tidak mau belajar juga? Kenapa orang tua adalah kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat padahal orang tua bukan Tuhan? Papa dan mama tidak akan mengerti rasa sakitku. Papa dan mama cuma paham kalau aku lebay, aku lemah. Tapi tidak demikian, aku selalu tegaskan diriku terluka.
Belasan tahun aku menahannya. Beberapa percobaan bunuh diri yang mau kulakukan dan puluhan percobaan bunuh diri yang aku pikirkan. Tidak ada yang paham. Aku cuma punya Allah. Tapi, sampai sekarang, Allah belum kirimkan pengganti De Sri untukku. Aku selalu menanti-nanti kapan aku bisa menyembuhkan luka ini. Aku sudah terlalu banyak diam dan mengalah. Ma, Pa, aku capek.
Oktober ini, rasanya dunia berat. Bahkan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Setiap malam aku menangis. Membuat fake scenario. Tertawa melihat video bias-biasku. Menutupi lukanya dengan apply organisasi dan kepanitiaan sana-sini. Aku sudah berusaha keras bertahan loh. Aku janji tidak akan menyerah. Tapi, sungguh, aku kesepian. Aku butuh teman bercerita. Aku butuh manusia yang secara nyata memahami kondisiku.
Aku tahu Risma menghindariku karena sedih aku akan pergi ke Yogyakarta. Tapi jujur saja, aku merasa ditinggalkan siapa pun. Aku serasa tidak punya apa pun. Aku menghadapi semuanya sendirian. Aku sanggup, tapi nampaknya, batasku sudah sebentar lagi. Aku menulis ini sembari menangis. Di bawah lampu yang sengaja kumatikan meski aku belum mengantuk. Meski besok aku harus bangun pagi karena ada kelas Bahasa Indonesia yang menyebalkan. Meski tugas college life belum selesai. Otakku sedang tidak ingin memikirkan apa pun. Malam ini, perasaanku mengambil alih diriku. Jari-jariku mengakui kalau aku kelelahan. Pikiranku juga demikian.
Kali ini, hatiku menang. Akhirnya ia bersuara. Akhirnya aku menomorsatukan ia lagi setelah sekian lama aku selalu menomorsatukan otak dan fisikku. Kali ini, ia egois, ia ingin menumpahkan semuanya. Aku memang kelelahan secara fisik, tulangku rasanya remuk. Tapi hatiku memang lebih remuk. Hatiku sudah remuk sejak lama. Aku selalu kelelahan ternyata.
Hei 2021, aku bisa bilang, kamu bukan tahun terbaik. Aku masih menganggap 2019 adalah tahun terbaik dalam hidupku. Aku tetap menobatkan 2020 sebagai tahun terburuk sejauh ini. Tapi 2021, aku mau berterima kasih padamu. Aku belajar banyak hal di tahun ini. Aku menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Aku lebih memahami diriku sendiri. Di 2021, aku berani jujur tentang kondisiku. Di 2021, aku berani konseling untuk pertama kalinya. Aku mulai berani speak up kondisi mentalku di tahun ini. Meski, aku tahu, akan banyak respon negatif terhadap ucapanku. Aku berterima kasih untuk hadiah indah ucapan selamat SBMPTN-nya.
Aku berterima kasih pada Allah yang telah memberikan aku kesempatan untuk tetap hidup. Untuk kesempatan yang diberikan agar aku bisa semakin bermanfaat untuk orang banyak. Di 2 bulan terakhir sebelum 2022 tiba, aku akan tetap sekuat tenaga membantu orang lain. Sesuai moto hidupku, "Aku akan bermanfaat untuk orang lain." Terima kasih karena telah melahirkan manusia sepertiku ke dunia Ya Allah. Aku tidak akan sia-siakan napas ini. Terima kasih.
Xoxo,
Randika Elgya Firza
