twitter


 28/03/2022

19:37

[Kiss Me - Sixpence None The Richer]

    Aku memulai bulan Maret tahun ini dengan perasaan deja vu karena mengingat bulan Maret tahun lalu adalah saat-saat aku terpuruk. Kita kembali pada (hampir) 12 bulan yang lalu di mana aku harus menerima kegagalan SNMPTN, konseling di Rahasia Gadis, dan fokus mempersiapkan UTBK dengan hati remuk-redam. Pada saat itu, dunia rasanya berhenti berputar untukku. Aku kesepian, tidak ada dukungan, tidak ada harapan, tidak ada kehidupan. Aku hanya bisa menangis dan menangis. Meratapi nasib mengapa aku tidak punya support system, bahkan orang tuaku alih-alih mendukung malah terus-menerus menyerangku dengan kesalahan. Seolah tidak pernah cukup menyalahkanku sejak kecil. Seolah masih belum cukup memaksakan sudut pandang mereka yang kuno dan kolot dalam memandangku. Argh ... Jikalau kamu tahu rasanya menjadi aku waktu itu, aku cuma berpikir ingin mati.

    Tahun ini, awalnya berjalan lancar (ya tidak juga sebenarnya). Aku kesulitan membagi waktu tidur, bahkan aku hampir kesulitan tidur karena sesuatu, ternyata aku merasa kesepian. Aku meratapi nasib diriku yang lagi-lagi selalu kehabisan tenaga untuk berbaur, seolah berbaur dengan manusia lain adalah hal yang membahayakan. Sejujurnya, aku juga merasa berbaur dengan orang-orang sama sekali tidak produktif. Aku bisa melakukan hal lain seperti belajar, nyicil tugas, atau menulis ini kan? Kenapa aku harus berbaur? Harus membuang tenaga untuk hal-hal yang tidak kusuka? Kenapa introvert dipaksa berada di dunia yang serba "berelasi" ini? Tidakkah cukup kami diberi ruang kebebasan?

    Aku meratapi pertengahan Maret yang sangat hectic dengan tugas sampai napasku rasanya tercekat setiap kali bangun tidur, tubuhku seperti meminta berhenti, tulang-tulangku berbunyi, mereka merintih, "Ah, kita mengerjakan tugas lagi ya? Kita akan kerja rodi lagi ya?" Begitu katanya. Aku sebenarnya tak sampai hati untuk memaksa mereka bangun. Namun, jika tidak demikian, bagaimana bisa aku memperjuangkan "nilai" ini? Bukankah aku harus selalu membuktikan bahwa aku "anak tunggal yang berhasil" kepada kedua orang tuaku? Bukankah suatu kesalahan besar jika ternyata aku anak tunggal yang gagal. Ya, pokoknya hidupku tidak akan lepas dari ekspektasi. Selamanya. Bahuku terkungkung tanggung jawab besar, meski terkadang aku seperti menyeret badanku untuk menunjukkan pada kedua orang tua bahwa aku "berusaha mati-matian".

    Tahukah kamu? Bisakah aku mengeluh di sini? Bisakah aku bercerita rasa yang terpendam dalam hatiku? Bisakah aku menceritakan ketakutan terbesarku? Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku seperti tidak pernah bebas. Meskipun saat ini aku di Yogya, ya aku di Yogya! Aku akhirnya keluar dari rumah itu! Aku keluar dari rumah yang membuatku ketakutan setiap hari! Yang membuatku tidak nyaman! Yang setiap hari aku harus bertemu papa! Bertemu trauma terbesarku! Ya, aku harusnya menjadi manusia bebas merdeka. Harusnya. Akan tetapi, kenyataan tidak begitu.

    Kehidupan di Yogya memang menyenangkan, aku suka makanannya (ya aku suka makanan), aku suka suasananya, aku suka segalanya. Tapi aku tidak suka ketika malam datang, lalu hujan menyergap, lalu hanya ada suara tokek, aku seperti sendirian. Dan aku memang sendirian. Aku selalu merasa bahwa selama belasan tahun ini aku sendirian. Aku menutupinya. Aku tidak jujur pada diriku. Aku pura-pura tertawa melihat video Tik Tok, sok-sokan nge-tweet tentang kondisiku, berupaya mencari cara mengusir kesepian. Apakah aku harus balik ke rumah? Oh tentu tidak! Aku aman damai di sini tanpa harus merasakan emosi negatif papa. Aku aman damai tidak harus mendengar laki-laki bergibah di warung, menjadi penilai untuk kehidupan manusia lain, dan berbicara seolah tidak ada setitik dosa menempel di tubuhnya. Ya, begitulah mental lembek ku dikelilingi oleh orang-orang yang suka berbicara dengan sudut pandang begitu kaku.

    Jika boleh, aku ingin menjauh selamanya di rumah. Aku tidak akan bertemu sepupu menyebalkan yang hobinya mengataiku, memanggilku tidak sopan, mengataiku fans plastik. Aku tidak akan bertemu tante-tante munafik yang menyebalkan, yang hanya baik ketika ada maunya, yang hobinya menyindirku padahal mereka lupa berkaca bahwa mereka tidak lebih baik dari keluarga. Yang berpura-pura baik di depan keluargaku. Kehidupan hanya palsu. Kitab-kitab suci yang mereka baca, ibadah yang mereka lakukan, ternyata, masih ada setitik rasa ingin mengurusi kehidupan orang lain dalam dirinya. Sungguh disayangkan.

    Sungguh disayangkan menjadi aku, si mental lembek, diturunkan Tuhan di lingkungan seperti ini. Aku masih berproses untuk menerimanya Tuhan. Aku masih berupaya menganggap papaku orang baik. Aku masih berusaha menganggap papa menyayangiku dengan caranya (yang sama sekali tidak bisa kuterima). "Kami mendidikmu keras agar menjadi orang yang kuat!" Kuat apanya? Aku depresi hei. Aku trauma hei. Kalian tidak tahu kan? Ya, sekali pun aku menceritakan ini secara langsung, apa kalian percaya? Apa kalian percaya gangguan ini ada? Apa kalian percaya aku kesakitan? Apa kalian percaya aku menangis setiap hari? Apa kalian percaya aku berpura-pura baik saja di depan kalian?

    Kenapa Ya Tuhan? Aku masih mempercayaimu. Aku masih sangat membutuhkanmu dan akan selalu begitu. Tapi, kuakui, aku lelah Tuhan. Aku lelah jadi makhluk yang harus memahami orang tuaku. Aku lelah harus beradaptasi di lingkungan ini. Aku ingin menjadi diriku sendiri. Aku ingin diterima sebagai highly sensitive person. Aku ingin hidup bebas merdeka. Aku juga ingin orang tuaku lebih memahami aku. Aku ingin mereka menyayangiku dengan cara yang cocok untukku. Aku sudah lelah disuruh memaklumi mereka. Aku lelah, Tuhan. 

    Awalnya aku bahagia di bulan Maret. Awalnya halusinasi itu tidak muncul. Awalnya setan-setan jahat di rumah itu pergi. Tidak ada orang yang mengintipku saat mau tidur, tidak ada suara di kamar mandi yang memanggilku, tidak ada perempuan yang berdiri di meja makan dan melihatku saat mengambil makanan di kulkas. Tidak ada bayangan-bayangan aneh. Semuanya menghilang. Awalnya. Tapi suatu ketika di Yogyakarta, aku sedang kelelahan karena tugas yang menumpuk. Aku mulai merasakan gejala depresiku kembali. Rambutku rontok banyak sekali. Haidku tidak teratur. Aku mulai menangis agar bisa tidur. Mulai membayangkan tokoh-tokoh fiksi. Mulai menjadi gila karena khayalanku sendiri. Mulai tertawa-tawa sendiri. Mulai bertingkah aneh seperti ada dua kepribadian dalam diriku. Dan tanda-tanda yang paling aku takutkan muncul, dadaku sakit, sakitttttt sekali. Aku mulai mengingat kematian De Sri, aku mulai melihat diriku mati dan diusung keranda dalam mimpiku. Aku melihat teman-temanku menangis mengantarkanku ke liang lahat. Aku benci sekali ketika tanda-tanda ini muncul. Aku tahu ini akan datang lagi. Aku tahu tidak seharusnya aku membiarkan diriku tanpa perawatan untuk mentalku. Tapi aku tidak bisa jujur. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan saat ini menulis ini pun aku menangis Tuhan. Dada kananku tiba-tiba sakit, perutku sakitttt sekali. Aku ingin semua ini berakhir. Berakhir saja. Aku tidak mau seperti ini lagi.

    Jumat lalu, aku diajak temanku ke psikiater. Sebuah rencana dadakan yang membuatku kaget. Tapi ya kupikir tidak apa-apa juga, siapa tahu aku bisa terbantu. Namun, aku lagi-lagi menangis dalam hati. Harga obatnya ya Tuhan, mahal sekali. Apakah sakit mental sesulit ini. Aku menghabiskan 337 ribu untuk konsul dan obat. Sebuah nominal yang tidak sedikit. Dan yang lebih parah, aku harus rutin ke psikiater karena katanya halusinasi baru bisa sembuh minimal 6 bulan. Bayangkan, 6 bulan, dengan nominal 1 kali konsul lebih dari sepertiga juta. Jadwal konsul 2 minggu sekali. Entah darimana uang akan kudapatkan. Aku masih belum dapat beasiswa. Aku masih belum bisa punya penghasilan sendiri. Aku masih pontang-panting mencari lomba. Aku pontang-panting mencari kepanitiaan yang mendapatkan uang. Tuhan, aku lemas seketika. Namun, aku lebih lemas mengetahui bahwa kemungkinan besar aku tidak hanya depresi. Obat yang diberikan kepadaku bernama Quetiapine Fumarate. Itu obat untuk penderita skizofrenia atau bipolar ya Tuhan. Ya Tuhan, kebenarannya adalah aku benar-benar gila. Aku takut sekali. Aku takut tidak diterima. Aku takut ketahuan mamaku menghabiskan uang. Aku merasa menjadi anak yang gagal. Bagaimana mamaku tahu nanti kalau anaknya ini "tidak waras"? Apa yang akan mama katakan pada dunia? Apa yang bisa aku perbuat sebagai anaknya? Baginya, aku kan selalu menyusahkan. Aku ketakutan ya Tuhan. Aku cemas sejak hari itu. Aku benar-benar tidak bisa tidur. Aku harus apa.

    Sudah sejak 3 hari ini, aku stop membeli makanan online. Aku hanya makan mie instan dan sisa nuget. Aku akan berpuasa. Aku hanya akan makan nasi tempe untuk selanjutnya. Aku akan menggantikan uang 337 ribu itu dengan menghemat pengeluaran. Aku lantas kepikiran, apa aku menjual novel-novelku? Atau album kpop-ku? Atau PC Korea-ku? Atau aku jadi guru les? Atau aku daftar gojek/grab/shopeefood (sepertinya aku lebih condong ke sini)? Tapi apakah aku bisa? Aku ingin punya uang sendiri. Aku tidak ingin merepotkan mama. Penyakit papa lebih nyata, lebih berbahaya dari penyakitku. Aku masih bisa bertahan dengan menahan sakitnya. Tapi papa tidak. Papa lebih butuh kehadiran mama. Aku kan sudah terbiasa sendiri. Ya, aku harus bisa. Aku sebenarnya bukan anak yang lemah kan?

    Beruntungnya, aku mendapat dua support system baru. Ada Rindang dan dr. Julian. Mereka berdua adalah orang baik. Mereka tidak men-judge-ku. Mereka masih menganggap aku manusia yang mau berjuang. Aku sebenarnya masih punya Risma, aku masih punya Shafna, dan Hernanda. Tapi seolah aku tidak bisa mengatakan apa pun. Aku tidak bisa menceritakan apa pun Ya Tuhan. Mereka pasti punya kesibukan. Mereka punya masalah. Aku tidak boleh jadi merepotkan. Tuhan, tolong bantu aku. Bukakan aku pintu rezeki. Entah melalui beasiswa, melalui lomba, atau melalui pekerjaan. Aku siap Tuhan. Aku juga mau sembuh. Aku lelah begini terus. Aku ingin hidup dengan semangat dan rasa syukur selayaknya orang normal. Aku tidak mau dianggap aneh. Aku tidak mau dianggap pikiranku tidak bisa dimengerti.

    Aku sudah masuk Psikologi. Aku mengenal diriku lebih dalam sekarang. Aku tahu aku butuh pertolongan. Tapi aku harus apa? Aku harus apa sekarang? Apakah aku akan terpuruk lagi seperti Maret tahun lalu? Apakah iya? Aku janji akan berjuang untuk hidup. Aku pasti akan berjuang untuk hidup. Jadi, tolong bukakan kucuran rezeki itu untukku. 

-Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar