1/1/2023
Mendengarkan playlist "Lagu Teratasmu di 2021"
Beberapa hal seringkali tidak berjalan dengan baik. Kalimat itu adalah salah satu pembelajaran utama yang aku dapatkan di tahun 2022. Jika boleh aku mendeskripsikan 2022 dengan satu kata, maka jawabannya hanya satu: menantang. Saat menulis ini, aku sedang dalam kondisi "baik", tidak merasa "sedih" ataupun "senang". Namun, jika dua spektrum emosi itu dibandingkan di sepanjang rentang tahun 2022, aku akan dengan lugas mengatakan bahwa sebagian besar tahun ini berisi rasa "sedih". Tidak dimungkiri, aku bak seorang nelayan pemula yang mengarungi lautan Samudera Hindia dengan perahu kayuku, tanpa alat bantu kompas dan hanya mengandalkan layar perahu yang lambat laun terkoyak karena ganasnya angin. Lalu, aku terombang-ambing di tengah-tengah lautan, meringkuk di tengah perahu. Tapi herannya, aku sama sekali tidak mengirimkan sinyal "SOS" kepada kapal-kapal besar yang lewat, seolah menikmati badai yang datang menerpaku. Tahun 2022 adalah pembelajaran hidup berharga. Tapi satu ketakutan terbesarku untuk tahun depan adalah, aku pernah (dan selalu berjanji) untuk mengakhiri hidupku di 2023. Janji yang kubuat saat umur 9 tahun, 11 tahun, 14 tahun, 17, 18, dan 19 tahun. Tidak ada angka 20 dalam kehidupanku. Aku tidak suka angka 20. Tahukah kamu, hal pertama yang aku pikirkan ketika 2022 akan berakhir dan 2023 akan dimulai adalah: aku akan menangis ketika ternyata aku bisa mencapai umur 20. Ingatkan aku untuk membeli kue ulang tahun dengan desain kapal pecah dan aku ingin meniup lilin angka 20 dengan mulutku sendiri, I swear!
Aku menyelami kehidupan begitu dalam sebagai manusia sensitif. Kurasa 2022 membawaku melatih intuisiku sebagai manusia sensitif. Aku dihadapkan dengan manusia-manusia paling putus asa dan paling optimis mengenai hidupnya. Ada yang bersyukur karena aku memahami pahitnya hidup mereka, ada yang menganggap aku lebay, adapula yang tidak menganggapku apa-apa. Biasanya, aku akan terganggu dengan tipe orang kedua, aku akan marah mencak-mencak kepada mereka, tapi rasanya 2022 ini aku dilatih untuk langsung "membuang" mereka dari hidupku. Terkesan lebay. Tapi ini hidupku. Aku tidak mengusik kalian, jadi jangan mengusikku. Aku ingin sedikit membanggakan diriku yang lebih berani di tahun 2022 ini, berani menyuarakan pendapatku, kegilaanku, dan aib-aibku. Aku sudah tidak peduli kata orang lagi. Aku merasa 2022 mengajarkan aku bahwa ya ... aku pasti sendiri. Aku akan dihisab sendiri, menjalani kehidupan setelah kematian sendiri, apalagi kehidupan. Tidak ada yang buruk dengan hidup sendiri. Tidak ada yang buruk dengan tidak ada teman. Tidak ada yang buruk dengan tanpa pencapaian. Tidak ada yang buruk dengan berubahnya pendapat dan prinsip seseorang. Iya, pertengahan akhir 2022 telah mengubahku: mengubah prinsip dan konsep hidupku. Aku tidak bisa mengatakan ini sebagai sebuah kemunduran, Tapi, buatku, Zabrina tanpa ambisi itu seperti bukan Zabrina. Zabrina tanpa ambisi itu seperti menyalahi tujuan hidupnya. Tapi setelah berpikir cukup panjang, tahun 2023 aku ingin mengurangi kegiatanku. Sangat mengurangi.
Aku sudah memutuskan untuk pensiun kepanitiaan di semester depan. Begitupun dengan organisasi dan UKM, meskipun mungkin aku tidak mundur, aku memilih untuk "menjaga jarak" dari UKM-UKM ini. Aku hanya punya waktu untuk organisasi yang memang aku minati dan menjalani satu program magang di satu pusat studi fakultas yang memang aku minati. Mungkin di 2023, aku hanya akan fokus pada perlombaan dan persiapan-persiapan magang, juga mungkin akan mengatur waktu untuk menyempatkan datang ke psikolog lagi. Aku sudah lama tidak mengunjungi Sardjito, barangkali psikiater dan psikologku di sana sedang memikirkan aku (aku tahu aku GR). Oh iya, sebenarnya aku juga berniat ikut PKM sih, doakan semoga realisasinya benar-benar terjadi dan semesta mendukung ya. Hm, apalagi ya, mungkin hanya itu yang aku harapkan untuk 2023. Tidak ada planning beasiswa sejauh ini karena aku sangat kapok. Mungkin masih kapok lebih tepatnya, tapi mungkin di pertengahan 2023 bisa saja semuanya berubah, I guess?
Rencana 2023 sudah kutulis. Yang berikutnya tentu satu bagian khusus untuk mengapresiasi orang-orang baik dalam hidupku. Pertama, mungkin kalian akan kaget aku menulis ini, tapi ucapan pertama adalah untuk kedua orang tuaku. Khususnya untuk mamaku. Wanita paling keren sedunia. Tidak ada yang bisa menandingi ketangguhan mamaku di tahun 2022. Terima kasih karena mama berusaha mengerti "anak aneh"-nya ini. Tidak lagi bertanya kenapa aku senang "mengurung diri" di duniaku sendiri. Ya karena beginilah anakmu, Ma. Membangun dunia dalam pikirannya sendiri dan tidak suka berinteraksi dengan orang lain. Toh, ketika diminta bersosialisasi, keahlian "bunglon"-ku bisa kugunakan, kok. Urusan manipulasi kepribadian itu sesuatu yang sudah sangat kukuasai (menurutku). Aku bisa menjadi sangat rame jika kalian memintanya. Bisa menjadi sangat murung. Bisa menjadi sangat pemarah. Bisa menjadi sangat pemaaf. Tapi yang bisa meminta itu hanya orang-orang yang aku "pilih" dalam hidupku. Salah satu orang dalam list orang pilihan itu tentu saja Risma Dewi Yana. Aku bisa menunjukkan spektrum emosi yang berbeda di depannya, bisa membuka topengku, bisa menjadi kalem namun juga barbar.
Untuk mamaku, yang membiayai aku sampai S1, aku benar-benar berterima kasih untuk keikhlasan dan keluasan hatinya menerima anak tunggalnya tidak masuk teknik dan terkhusus ITS. Aku tahu kampus Vivat itu memang bagus karena warnanya biru (dan aku suka warna biru). Tapi ternyata kampus Vivat itu memang tidak cocok untukku yang sudah bersumpah tidak akan pernah mau bertemu Fisika dalam hidupku lagi. Also, maaf juga karenanya trah ITS itu terputus pada generasi 3 alias aku. Maaf sekali tapi aku bersyukur karena akhirnya aku bisa menyetani adik sepupuku paling bontot untuk tidak masuk ITS (ketawa jahat). Untuk mama, yang aku tidak sangka sudah berkepala 5. Aku tidak merasa ada yang berubah dari mama satupun. Masih sama seperti saat umur mama 30 tahun-an. Aku sangat tidak rela mama menua sedangkan anaknya ini masih bolak-balik hidup dalam isi kepalanya sendiri. Apalagi mama dan aku ini seperti sepaket nasi dan lauk atau kaos kaki dan sepatu, saling melengkapi, berdempet, dan tidak mau lepas. I am not sure tapi mama pernah bilang mau ikut aku ketika aku menikah nanti (InsyaAllah mama akan aku bawa ke Korea Selatan dan nanti kita akan tinggal bertiga: aku, Mark Lee, mama). Tidak-tidak, itu bohong. Mungkin akan dengan Fitra karena sepertinya mama sudah sangat berkomplot dengan manusia itu sampai seringkali chat di belakangku tanpa aku tahu (kalian ngomong apa sih). Tapi kalo ternyata bukan Fitra, mungkin aku akan datang bersalaman di pelaminannya dan meninju kepalanya supaya tidak macam-macam dengan istrinya karena pasti aku akan membela istrinya mati-matian. Atau kemungkinan lainnya, aku bahkan lebih dulu pergi dari mama. Tapi aku tahu, kalimat ini terkesan kejam, meskipun kematian memang sangat dekat dengan kita. Atau mungkin, aku dan mama hanya akan hidup berdua saja sampai akhir waktu, berkeliling dunia dan aku akan mengabdikan seluruh hidupku untuk menulis. Aku dan mama against the world!
Untuk papaku, yang berjuang keras bertahan hidup. Aku mengangkat topi untuk segala limpahan pelajaran hidup berharganya, baik itu bahagia maupun sengsara. Tanpa papa, aku tidak akan hadir di dunia. Tanpa papa, aku tidak akan mengenal Ekonomi. Salah satu mata pelajaran paling berguna di dunia, no debat! Aku masih cinta Ekonomi, Pa. Tapi hidupku dan aku memang sudah tertulis Psikologi, hehe, peace. Untuk papa yang merindukan aku ketika kuliah. Untuk papa yang berharap aku segera pulang ke rumah ketika semester berakhir. Untuk buku-buku papa yang membuka mataku akan dunia-dunia ekstrem dan menantang yang bisa aku jelajahi dalam pikiranku. Tanpa pencapaian-pencapaian papa dan pemberontakan anti IPA di keluarga sehingga ketika aku memilih kuliah Soshum, tidak ada saudara-saudara papa yang hobi ngece lagi. Bagus, Pa. Memang menjadi pembangkang di keluarga itu mengasyikkan. Sebagaimana papa yang tiba-tiba membuat saudara-saudaranya kaget karena alih-alih memilih IPA, papa malah memilih IPS dengan pedenya sampai kakak-kakak papa mencak-mencak. Dan sekarang pembangkangan itu dilanjutkan anak berkepala batunya yang tiba-tiba tidak ingin melanjutkan trah Ekonomi dan beralih pada ilmu orang gila. Sekarang aku paham pepatah bahwa darah memang lebih kental daripada air. Aku terlalu mirip dengan papa sampai aku membencinya. Cara kita memandang sesuatu, cara kita memperjuangkan ambisi, mempertahankan pendirian, cara kita menjaga harga diri. Tanpa diajari, ternyata papa menurunkannya padaku. Aku bilang papa itu mengerikan. Ternyata, aku merasa diriku juga "mengerikan". Tapi aku merasa ini tidak buruk, Pa. Dan tahukah papa bahwa aku dulu sangat anti dan ingin mencari pasangan yang jauh berbeda dari karakter papa, tapi ternyata aku bertemu Fitra yang seperti papa hanya saja tempramennya dia lebih baik dan kemampuan mengolah emosinya jauh lebih baik. Tapi dari segi cara kerja, pendirian, prinsip, bahkan muka juga hampir mirip. Memang naluri diri ini sungguh luar biasa. Oh, satu lagi, kemampuan mendekati perempuannya juga hampir mirip. Speechless.
Section ini adalah khusus sahabat-sahabatku di manapun berada. Risma, Rindang, Lyla, Devita, Patris, Chesya. Kumpulan manusia ber-MBTI NF (intuition-feeling) yang sepertinya satu frekuensi karena semuanya adalah jenis manusia sensitif sepertiku. Yang bahkan bisa tahu perasaan orang hanya dari gerak-geriknya. Terutama ketika semesta yang mempertemukan aku dengan Lyla, plek ketiplek pola pikirnya sama, dunia khayalannya sama, dan biasnya sama-sama Jeon Wonwoo dari Seventeen. Bahkan ketika kita mengobrol di ruang dan dimensi manapun, selalu ada kata-kata, "Eh iya, aku juga mikir begitu tau!" "Eh, aku sering banget ngerasain itu tau!" "Eh, aku sering banget ngelakuin itu tahu kalo lagi ..." Dan beragam kesamaan gila lainnya, bahkan sampai tipe cowok yang sama, I think this is crazy. Tapi kami juga punya beberapa perbedaan sih. Seperti misalnya dia pernah bertemu Wonu secara langsung, sedangkan aku masih bermimpi bertemu Wonu sampai detik ini. Lalu, untuk Devita, Patris, dan Chesya, partner kelompok terbaik yang pernah aku temui sepanjang perkuliahan. Terutama untuk Devita yang membelikan aku Mixue (FYI Dev, sekarang Mixue viral dan sepertinya Mixue Tugu langganan kita akan makin ramai sampai kita harus ngemper makan es krim di trotoar). Atau untuk Patris yang suprisingly alumni manusia "aneh-aneh" dan sedang membantuku untuk tidak "aneh-aneh". Doakan ya Pat, aku tidak aneh-aneh dengan selimut, gunting, Baygon, atau lantai 4 kosan lagi. Kita harus hidup lama Patris. Kita harus jadi psikolog baik hati dengan gaji dua digit dengan keluarga yang punya parenting baik. Aamiin. Doakan ya semoga nanti biro psikologiku lebih laku daripada dukun-dukun di Madura. Atau kalau ternyata aku tidak bisa jadi psikolog, aku bisa membantu anak berkebutuhan khusus (ABK) untuk mendapatkan terapi dan stimulasi sensori untuk tumbuh kembang mereka. Atau aku akan secara sukarela ingin menjadi tenaga psikologi di RSJ. Dan tentunya, aku ingin jadi penulis. Aku masih ingin menjadi penulis. Penulis yang menulis apapun. Penulis yang bercerita dengan tangan dan perasaannya. Aku percaya dengan kemampuanku satu itu. Meskipun mungkin tulisanku tidak sebagus itu untuk dikomersilkan, tapi dengan menulis aku merasakan kehidupan. Tulisan apapun yang kuhasilkan dari tangan dan hatiku adalah sebuah kejujuran. Sebagaimana motto blog ini: menulis untuk hidup, hidup untuk menulis. Aku tidak sedih ketika tulisanku jelek, aku lebih sedih kalau ternyata aku tidak menulis sama sekali. Huhu, maaf blogku, kamu aku campakkan 4 bulan belakangan ini.
Oh iya, selanjutnya aku ingin berterima kasih pada Fitra. Apa ya, dibilang akur, kami malah sering bertengkar. Tapi hidup kami memang isinya pertengkaran (haha). Sebagaimana alumni daddy issues, kita berdua sudah sama-sama paham soal rasa sakit. Bedanya, Fitra adalah manusia selow, aku adalah manusia lebay. Kadang dia bikin kesal, tapi kadang dia itu selalu menemukan cara untuk membuat aku tertawa. Kalau boleh jujur, sejauh ini, bahkan cuma dia lelaki yang aku percaya, padahal dia dulu buaya. Kalo katanya, sekarang dia sudah "diikat sama pawang", I mean dia dengan setulus hati mendeklarasikan sebagai "buaya tobat", kayak "Hei, lu tuh ngapa anjrot". Aku tahu ada kemungkinan kami ternyata tidak berjodoh. Tapi tidak apa-apa. Kemungkinan terburuk itu sudah aku pikirkan jauh-jauh hari. Aku tidak akan mengkhawatirkan itu karena aku tahu bahwa kalau kenyataan membawaku pada kesendirian lagi, aku sudah terbiasa dan terlatih. Aku hanya ingin bersama dia untuk sekarang. Untuk mengisi salah satu ruang untuk perasaan kasih sayang dan perasaan ditemani. Dia itu baik. Hanya saja perlu untuk sedikit mengubah cara pandang yang biasa aku lakukan ketika menghadapinya. Kita lihat apakah ucapanku ini konsisten karena aku manusia yang bisa saja mengubah ucapan dan pendapat yang pernah diucapkannya. Sejauh ini, Fitra sudah kuanggap keluargaku, teman hidupku, dan temanku bertengkar. Aku tidak pernah mau bilang dia pacarku, karena dia lebih dari itu. Dia partnerku. Dia kritikus nomor satu. Dia komedian nomor satu di hidupku. Dia partner bertengkar nomor satu di hidupku. Dia partner terbaik dalam membahas rencana hidupku. Dia yang menyeimbangkan idealismeku dengan prinsip realistisnya. Dia yang membuat aku menatap masa sekarang dan menyeimbangkan ambisiku. Dia yang paling bisa menerima segala spektrum emosi yang aku keluarkan. Dia masih nomor satu. Dalam kehidupan nyataku, dia masih paling aku yakini untuk masa depanku.
Untuk Risma, aku tidak bisa menyebutkan secara detail tentang dirimu karena aku tidak bisa menjabarkan seberapa banyak perasaan sayang ini. Aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Di kehidupan selanjutnya, kalau memang ada, aku akan dengan senang hati meminta pada semesta untuk menjadikan kita teman dekat sekali lagi. Aku sudah tidak bisa membalas pesan-pesan baikmu dengan kata-kata panjang lagi. Tapi kamu tahu bahwa hatiku sudah membalasnya dengan sangat banyak kalimat yang tak terucap dan tersampaikan. Risma, aku turut bahagia untuk segala pencapaian yang sudah kamu capai. Yang sudah kita capai. Kita sudah terlalu banyak mengarungi rasa sedih. Entah kenapa, aku optimis kalau kamu akan bertahan hidup lama, Ris. Ada banyak mimpi-mimpi yang mungkin tidak bisa kita wujudkan lagi. Tapi aku percaya dengan memilih "bertahan", itu seperti membuka peluang-peluang lainnya. Bertahan mungkin adalah kata sepele untuk orang lain. Tapi bagi kita, itu satu kata sakral yang tidak bisa dilewatkan selain kata "berjuang". Ada banyak rasa rindu yang ingin aku sampaikan tapi rasanya belum bisa tersampaikan sampai aku menulis ini untuk kamu. Aku di sini, Ris. Masih ada di sini dan jangan ragu untuk terus datang ke aku dalam situasi apapun. Aku cukup sedih karena kamu sudah jarang cerita meskipun ya, aku juga sudah cukup jarang cerita dalam beberapa waktu yang berlalu ini. Untukmu, semoga semesta lebih banyak mengucurkan kebahagiaan lagi di masa-masa mendatang. Aamiin.
Untuk 2023. Tidak banyak harapanku. Sebagaimana yang telah kusebutkan di atas. Harapan utamaku adalah hidup lebih lama. Iya, aku ingin hidup lebih lama. Rasa ingin hidup ternyata melebihi rasa ingin mati. Aku ingin bisa melewati 8 Januari tanpa harus berpikir untuk menyusul Bude-ku lagi sebagaimana 8 Januari pada 2 tahun terakhir yang dipenuhi keinginan bunuh diri. Aku tahu memang Bude pernah berjanji untuk menemaniku meskipun janji itu tidak bisa ditepati. Aku bahagia Bude sudah tidak merasakan sakit duniawi lagi karena aku tahu bahwa dengan membiarkan Bude lebih lama hidup, akan ada banyak penderitaan yang manusia gila itu berikan. Mungkin memang Bude diambil semesta untuk kebahagiaan yang selama ini beliau perjuangkan. Meskipun dengan begitu, Bude meninggalkan aku sendirian. Aku tanpa Bude memang tidak sempurna lagi. Tapi hidup, bagi orang-orang yang ditinggal mati, memang harus tetap berjalan. Tidak ada pilihan. Tidak ada kompromi. Tidak ada yang bisa dikembalikan lagi. Bude sudah pergi.
Harapan duniawi berikutnya adalah tentang mengurangi rasa kebencian dan ketidakpercayaan. Ada banyak hal yang tidak bisa aku tulis di blog ini karena ini menyangkut kebencian dan ketidakpercayaanku pada beberapa orang di 2022. Namun, aku sadar bahwa manusia memang tempat salah dan aku rasa, aku sudah tidak ada energi untuk membicarakan keburukan orang lain. Aku sedang ingin menempatkan diriku dalam posisi tidak "menyerang" siapa pun. Saat ini, aku ingin 2023-ku berjalan dengan lebih baik. Aku ingin lebih menyayangi banyak orang dan bertemu banyak orang baik yang membawaku berkembang.
Semesta, kalau firman-Mu mengatakan bahwa penciptaan manusia adalah karena tujuan-tujuan mulia. Aku meminta dengan segenap hatiku agar Semesta membantuku dalam setiap inchi pergerakan yang aku lakukan. Aku ingin lebih "hidup" dan merasa "dekat" dengan diri-Mu. Hubungan kita memang pasang-surut. Tapi aku sangat percaya bahwa hubungan kita justru yang paling indah di antara hubungan-hubunganku yang lain. Semesta, untuk 2023, aku ingin "kehidupan". Beri aku kehidupan yang "baik" dengan bimbingan-Mu, aamiin.
Happy for us,
Randika.
