twitter


[Saat menulis ini, sedang mendengarkan Adele - Make You Feel My Love volume 100% dan memutar video TikTok volume 100% untuk mengalahkan bisingnya kepalaku]

Halo, 2023.
Berita pertama untuk tahun ini adalah aku kehilangan papaku. Agak sangat kaget karena tanggal 1 Januari aku berharap papa masih akan hidup setidaknya sampai aku lulus kuliah. Ternyata, 2023 merenggut papa 4 hari kemudian. Perasaanku saat itu bagaimana? Seperti serangan jantung kecil, ralat bukan kecil, besar dan memuakkan. Aku tahu ke depannya aku harus "dipaksa" hidup, "dipaksa" memaafkan, "dipaksa" kuat, dan segala "dipaksa-dipaksa" lainnya sebagai anak tunggal harapan keluarga. Ketika papa meninggal, hal pertama yang aku pikirkan tentu saja ingin menyusul. Oh iya, bagaimana aku bisa lupa bahwa sebenarnya yang tidak ingin hidup adalah diriku sendiri, bukan papa. Makanya, aku sempat (dan sejujurnya masih marah) kenapa papa yang dipanggil. Bukankah lebih baik jika aku saja yang pergi? Aku kan sudah bilang sejak jauh jauh jauh jauh hari, bahwa penyesalan terbesarku (bisa dibilang) adalah terlahir sebagai aku. Aku selalu menjawab seandainya aku diberi kesempatan terlahir kembali, maka aku memilih untuk tidak mengambil kesempatan itu. Men, di tengah malam, ketika remaja-remaja itu menggalau apakah pacarnya selingkuh atau tidak, ketika mereka menggalau tentang keadaan ekonomi keluarganya, aku menggalau kenapa aku terlahir ke dunia. Aku selalu berpikir, "seandainya aku nggak terlahir, seandainya aku nggak terlahir sebagai aku, aku sekarang sedang apa, di planet apa, punya keluarga siapa, dan hidup sampai berapa lama". Aku hidup dalam kepalaku--setiap malam--tanpa henti kepalaku berputar. 

Kalau boleh jujur, aku sudah hancur sejak lama. Sejak lamaaaaaa. Aku tidak tahu pastinya kapan. Tapi kalau sekarang kau lihat aku masih utuh dan bertambah gemuk karena lemaknya menumpuk di bagian perut dan pipiku, maka sesungguhnya itu adalah Zabrina palsu. Aku yang asli sudah hancur sejak lama. Sudah lama sekali rasanya aku merasa jadi manusia normal. Terus sekarang apa dong, Zab? Jujur, aku menganggap diriku sudah tidak normal. Orang normal mana yang dalam sehari bisa berpikir bunuh diri lebih dari sekali. Orang normal mana yang panik karena tiap hari mendengar suara orang berteriak-teriak dan memanggilnya. Orang normal mana yang kepikiran untuk menangis di makam saja seharian. Orang normal mana yang menganggap pacarnya adalah bapak kandungnya. Orang normal mana yang menganggap semua manusia di sekitar adalah musuhnya. Orang normal mana yang post SW suami dan bapak orang secara rutin dan mendeklarasikan diri untuk menjadi biasnya Rivan Nurmulki. Orang normal mana yang memberi motivasi untuk hidup padahal dirinya menangis tiap malam. Orang normal mana yang sayang sekali sama pacarnya tapi mendeklarasikan diri tidak mau menikah dan bercita-cita mati muda.

Sedikit cerita, aku sudah berjanji pada psikologku untuk setidaknya bertahan sampai umur 20 tahun. Setelah itu? Tidak tahu. Satu-satunya rencana yang ingin aku capai dan sangat ingin aku capai adalah mencapai umur 20 tahun. Itu prestasi besar, amboi. Bayangkan saja bagaimana kita melewati hari-hari berat itu. Wah, Zabrina, kalau kau kembali pada belasan tahun lalu ketika mendeklarasikan diri untuk mati muda dengan pisau dapur tumpul bergagang kayu yang sampai sekarang dipake mamamu memotong daging ayam itu, harusnya kau berbangga hati. Kurang dari 2 bulan lagi, akhirnya angka 20 itu tiba. Angka yang paling kau benci, sekaligus kau nanti-nanti. Kita sudah sampai sejauh itu ternyata. Maka, untuk menghargai perjuanganmu sendiri, patuhilah kata psikologmu tercinta, Bunda Nunung, penyelamat mahasiswa-mahasiswa gila di UGM yang dengan tulus hati melayani kita-kita ini. 
Salah satu cara untuk membuktikan kepada papa bahwa Zabrina adalah orang yang kuat, setidaknya Zabrina mau ya bertahan sampai umur 20 tahun. Yuk, Zabrina pasti bisa!

Zabrina, sekarang sudah lewat tengah tahun. Bulan Juni penuh kutukan setiap tahun karena kita pasti mencoba bunuh diri di bulan ini. Meskipun kemarin sempat mencoba di kosan dengan selimut andalan dan kipas tua, tapi ternyata kewarasan kita masih menang, Zab. Setidaknya kita masih bertahan melewati fase-fase depresif yang panjang dan tak pernah berakhir ini. Mantra-mantra penenang dari psikolog ternyata berhasil membuat kita bertahan, teman-teman baik hati yang menanyakan kondisimu, dan pacarmu yang meskipun sangat menyebalkan itu ternyata rela mengirimkan Paket Hemat 3 Hokben favoritmu dengan sedikit tulisan cringe yang patut untuk dihargai bintang 10 juta karena dia sama sekali tidak bisa words of affirmation. 

Zabrina, sekarang sudah lewat tengah malam. Meskipun kepalamu penuh dengan bisikan-bisikan dan ketika menulis ini kamu menggunakan separuh otakmu saja untuk berpikir. Bersyukurlah untuk satu hal. Bersyukurlah karena kamu masih bisa menulis. Bersyukurlah karena menulis membuatmu lebih hidup di tengah kehidupan yang membuatmu megap-megap ingin gantung diri itu. Bersyukurlah karena kamu dikaruniai kata-kata abstrak di otakmu untuk kamu tumpahkan dalam tulisan super maha tidak jelas ini. Bersyukurlah karena kamu tidak memilih meninggalkan menulis meskipun kamu tidak masuk jurusan sastra. Bersyukurlah dengan bakat ini, Zabrina. Dengan tulisan-tulisan ini, yang ketika kamu baca saat sadar, kamu tahu bahwa kamu pernah sesekarat ini, sebersyukur ini, seingin berjuang ini. Zabrina, tengah tahun berikutnya, haruslah jadi tengah tahun yang lebih menguatkanmu. Lebih membuatmu ingin bertahan. Lebih membuatmu melihat dunia dengan lebih ... baik (?). Terima kasih ya, sudah mau hidup sebagai Zabrina.

 

0 komentar:

Posting Komentar