twitter


 [Mendengarkan Mitsky - Washing Machine Heart ditemani asam lambung yang naik dan membakar rongga dada karena riwayat GERD]

    Aku selalu takut kepada makhluk bernama laki-laki. Saat Tuhan menceburkan aku ke dunia pada 21 Agustus 2003 di sebuah rumah sakit swasta di Kalianget, dokter laki-lakilah yang pertama kali melihat kelahiranku. Beliau baik. Namun, tidak seperti dokter laki-laki yang bernama Dokter Ibnu itu, ternyata tidak semua laki-laki itu baik.

    Laki-laki kedua yang kutemui dalam hidupku adalah papa. Semua orang mengagumi beliau. Beliau vokal, cerdas, semua kolega takzim padanya. Papaku punya kharisma yang tidak bisa dijelaskan, yang membuat cewek-cewek di SMA-nya suka mengirimkan surat cinta di kolong bangku tempat papa duduk. Papaku, orang yang mengumandangkan azan di telingaku pertama kalinya. Menjalani 3 tahun kehidupan awal bersama papa, yang kuingat bahwa papaku adalah seorang pengangguran (yang setelah pensiun dari perpolitikan, memilih menyepi di rumah selama 2 tahun untuk kemudian memutuskan untuk melamar menjadi dosen). Hidup bersama di awal tahun itu, terasa biasa-biasa saja. Papa memang sering menyentak, ngamuk-ngamuk di telfon kalau kawan kerjanya tidak becus, atau kalau mama tidak menyiapkan barang-barangnya dengan baik. Sebuah amukan yang kuanggap biasa. Sebelum ada insiden besar yang mengubah hidupku.

    Memoriku merekam bahwa peristiwa itu terjadi sekira usiaku 7 tahun. Aku yang terkenal punya ke-sok-tahu-an yang tinggi, suka sekali mengotak-atik barang milik orang lain. Contoh nyatanya adalah ponsel Sony Erickson mama yang kubuka untuk melihat-lihat foto masa kecilku. Begitu pun dengan ponsel papa, sebuah ponsel bermerek sama: Sony Erickson berwarna metalik. Kala itu, papa sedang di rumah, nampak asyik membaca bukunya di teras depan, sementara mama bekerja, dan aku yang baru pulang sekolah memilih menyendiri di kamar. Sebuah notifikasi tiba-tiba berdenting: sebuah SMS masuk di ponsel papa yang tergeletak di meja kamar. Aku yang dipenuhi rasa penasaran, tanpa ragu mengambil ponsel itu. Membuka layar depan dan langsung menuju aplikasi SMS. Betapa terkejutnya aku begitu melihat banyak sekali SMS dari nomor-nomor tak dikenal, bernada seksual. Dan SMS yang baru saja masuk itu, juga bernada sama. Hatiku campur aduk. Marah tak keruan, sangat kecewa. Meskipun aku masih 7 tahun, aku paham maksud SMS itu apa. Aku menyebut SMS itu sebagai SMS pengkhianatan, bukti pengkhianatan papa kepada mamaku; kepada keluarga kami. Saat itu, bertepatan dengan aku yang masih memegang ponsel, papa masuk ke dalam kamar. Ekspresi murka dan suara yang bernada tinggi lantas menyambar diriku. "KAMU NGAPAIN HAH?" Papa merebut ponselnya. Celakanya, aku belum keluar dari aplikasi perpesanan itu, dan dalam sekelibat saja, tangan itu melayang pada pipiku. Tamparan pertama dalam hidupku. Yang sangat menyakitkan. Aku berlari ke kamar mandi. Mengunci diriku di sana. Kiranya ada sejam penuh dengan tangis. Dan sejak itu, aku menobatkan kamar mandi sebagai tempat paling jujur versi Zabrina, tempat aku bisa menemukan diriku, tempat aku menjadi diriku sendiri. Aku memutuskan menyimpan rahasia itu sampai detik aku menulis ini. Sampai kepergian papa. Mama tidak tahu apapun, atau sebenarnya mama juga tahu, tapi memilih tidak menceritakannya padaku.

    Peristiwa bersama papa adalah sebagian kecil dari pemicu aku sangat membenci laki-laki. Peristiwa-peristiwa lainnya adalah saat aku mengetahui bahwa pakdeku selingkuh. Aku benar-benar marah karena bude sudah kuanggap sebagai ibu keduaku di rumah; cinta budeku yang tulus dibalas oleh pengkhianatan. Memang lelaki bangsat. Belum cukup sampai di situ, aku dan sepupuku berkomplot untuk melabrak si pelakor, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana sepupuku (anak dari pakde-bude) beradu mulut, berjambak-jambakan, dengan pelakor gatal yang padahal sudah diperistri polisi itu. Aku masih sekolah dasar saat itu, sehingga yang bisa kulakukan adalah memberi moral support agar sepupuku menang dalam laga perjambakan itu. Peristiwa lainnya yang membuat kebencianku kepada lelaki berkobar adalah saat aku tahu bahwa kakak perempuan tertua papa--yang selama ini dikata-katai "gila"--ternyata pernah diselingkuhi oleh suaminya sampai menjadi gila. Belakangan aku tahu bahwa budeku itu mengidap skizofrenia, akibat trauma perselingkuhan. Lagi-lagi, memang lelaki bangsat. Tidak hanya itu, kakak perempuan papa yang nomor dua, yang selama ini kutahu bahwa suaminya sedang pergi merantau ke luar pulau untuk bekerja, ternyata sudah mentalaknya jauh-jauh hari. Hanya karena satu hal: tidak bisa memberikan keturunan. Kakak perempuan papa yang nomor dua akhirnya sering menutup diri. Aku menduga beliau terkena paranoid disorder; beliau takut bertemu orang, terutama laki-laki, bahkan seringkali beliau melarang-larangku untuk bertemu laki-laki, karena beliau takut aku kenapa-napa. Lagi dan lagi, memang lelaki bangsat. 

    Peristiwa traumatis lain yang mengubah hidupku adalah pelecehan seksual yang aku alami saat berusia 14 tahun. Selama bertahun-tahun aku memendamnya. Semua bermula saat aku dan beberapa kawan perempuanku baru saja menyelesaikan try out kesekian kali untuk menghadapi ujian nasional SMP. Sepulang dari sekolah, kami berlima (kalau tidak salah jumlah) menyetop taksi atau yang lazim disebut "ekkol", moda transportasi murah bagi kami, anak SMP yang uang sakunya hanya selembar tipis Pahlawan Imam Bonjol. Saat itu, kami berlima naik ekkol bersama-sama, namun aku menyadari bahwa keempat temanku ini akan turun terlebih dahulu sebelum aku. Kedua temanku turun di Kebbun, sisanya di roma sake',  dan terakhir di Lison. Dalam ekkol itu, tidak hanya ada aku dan teman-temanku, melainkan ada juga seorang ibu-ibu paruh baya yang duduk di samping sopir, beliau kemudian turun di Lison, bersama dengan salah satu temanku. Adapula seorang laki-laki dengan pakaian yang sudah agak kumal, duduk di tengah, dan tentu saja ada bapak sopir. Ketika seluruh temanku sudah turun, aku yang memang duduk di barisan paling belakang merasa tidak nyaman karena laki-laki ini sering menatapku dengan intens. Aku merasa dia mengawasi gerak-gerikku. Dan benar saja, dia berpindah duduk di sampingku. Aku kemudian terus menggeser dudukku sampai ke ujung jendela di sebelah kanan. Dia juga turut menggeser badannya, menghimpitku yang sudah tergencet berada di antara jendela ekkol dan tubuhnya yang mulai condong ke arahku. Aku rasanya mau menangis saat itu. Tapi aku memilih menghadapinya yang bertanya, "Mbak, ngkok minta'a nomorra," begitu ucapnya padaku. Aku tidak menjawab. Dia semakin berani dan memegang bahuku, lalu bertanya, "Mayu kemma nomorra, Mbak," ujarnya dengan memaksa. Lalu, dengan lancangnya, tangan kanannya itu meremas-remas paha kiriku. Aku benar-benar ingin berteriak: marah, takut, cemas, sedih, bercampur jadi satu. Aku tidak bisa mengelak lagi dan kusebutkan saja sebuah nomor dengan asal-asalan. Tangannya masih terus meremas-remas paha kiriku meskipun aku sudah berupaya menyingkirkan. Aku sudah tidak tahan lagi dan meskipun aku tahu bahwa jalan yang kami lalui masih jauh dari pemberhentian Pelabuhan Kalianget, aku memilih mengatakan, "Kiri, Pak," meringsek keluar dari ekkol itu, membayar uang dua ribu perak, dan berlari sekencang mungkin. Si lelaki yang tadi berada dalam ekkol itu memberikan senyumnya padaku. Senyum mengerikan, sekaligus membuatku trauma setengah mati. Aku baru menyadari bahwa aku turun di Samiren, tempat pemberhentian yang cukup jauh dari rumahku. Namun, aku tidak peduli. Aku memilih berlari sekencang-kencangnya. Sepatuku tersandung-sandung batu. Aku takut lelaki itu mengejarku lagi. Sepanjang perjalanan pulang itu, aku menahan air yang membasahi pelupuk mataku. Dahulu, aku tidak tahu bahwa itu bentuk pelecehan seksual. Setelah SMA, aku baru mengetahuinya. Semenjak peristiwa itu, aku selalu merasa diriku tidak suci. Terlebih, ketika aku langsung melaporkan kejadian itu kepada mamaku dan mengatakan bahwa aku tidak mau naik ekkol lagi, mama malah berujar, "Siah, kamu ini lebay." Dan jawaban mama yang singkat dan pendek itu, menusuk jantungku teramat dalam. Itulah awal mula runtuhnya kepercayaanku pada mama.

    Peristiwa lainnya yang berkaitan dengan laki-laki sebenarnya cukup banyak: termasuk ketika aku difitnah oleh orang kepercayaan papa di rumah. Yang berakhir aku mendapatkan kekerasan fisik dari papaku. Lalu, papa yang setidaknya dalam seminggu sekali mengucapkan "tolol, goblok, nggak becus, dus-nodusi" kepadaku. Belum lagi, ketika aku melihat bagaimana om-ku dengan ringan tangannya memukul anak laki-lakinya ketika dia berbuat salah. Dan ketika halaman taneyan lanjhang-ku senantiasa dimanfaatkan oleh gerombolan laki-laki bawahan pakdeku yang gemar membicarakan kebohaian wanita, mengatai-ngatai fisik perempuan, tertawa-tawa seakan-akan mereka yang berucap itu adalah laki-laki tampan, dan bagaimana ucapan mereka yang pernah kuingat: "Arapa'a nyare bine penter mon tak tao amassak, ben tak mapuas e ranjang." Aku merasa ucapan-ucapan kotor itu seakan menegaskan bahwa mereka-mereka ini laki-laki rendahan.

    Aku juga masih ingat betapa keluarga papa ini gemar membicarakan mamaku--sebagai perempuan pekerja--yang katanya terkesan sombong, seakan-akan paling "segalanya". Aku prihatin karena ternyata orang-orang yang membicarakan dan menjelekkan mama di belakang ini, pada satu waktu, pernah meminjam uang dengan nominal yang besar. Betapa mereka harusnya merasa malu dengan lisan kotor yang senantiasa membicarakan orang lain itu. Ironisnya, sampai detik ini mama tidak tahu penghinaan itu. Sedangkan, aku mengetahuinya. Aku mendengar celotehan-celotehan panas tentang mamaku sejak dulu. Tentu saja, kini setelah papaku berpulang, aku khawatir mama harus menghadapi kejamnya lisan mereka sendirian.

0 komentar:

Posting Komentar