18/7/2022
Sedang mendengarkan playlist OST. Drama Korea dan lagu-lagu Dewa 19
Hari ini aku ingin bercerita banyak tentang seseorang. Seseorang yang namanya mungkin sering kusebutkan dalam blog ini. Seseorang yang namanya pernah aku tulis sebagai kata lain dari "kebencian". Kamu pasti tahu itu. Namanya Fitra Abu Rizal. Entah berapa kali namanya tertulis di buku catatan harianku, blog, bahkan tulisan-tulisanku sejak SMP. Selalu dia. Aku pertama kali menuliskan namanya di buku catatan harian kelas 8 SMP, saat aku menyadari bahwa aku menyukainya.
Pertama kali bertemu
Aku lupa kapan pertama kali kami bertemu, tapi sepertinya waktu itu di pertengahan November 2016. Aku membentur seorang laki-laki yang ada dalam rombongan anak kelas paling mengerikan. Anak kelas 9I yang terkenal nakal-nakal itu. Dia ada di sana. Bersama dengan orang-orang nakal yang sangat familiar sebab sering sekali dipanggil ke depan saat upacara karena berbuat onar. Kesan pertama aku melihatnya adalah dia menakutkan, dia nakal, dia cuek, dan tingginya tidak normal untuk seukuran anak kelas 9. Waktu itu, aku masih kelas 8, dan selayaknya adik kelas yang melihat gerombolan kakak kelas melintas, aku harus menepi. Apalagi ini kelas 9I. Hanya ada dua risiko jika aku tidak menepi waktu itu, aku akan digoda-goda (sebagaimana kebiasaan gerombolan laki-laki jika berkumpul) atau aku akan mendapat masalah lain yang tidak kubayangkan sebelumnya. Aku sudah mengupayakan diri untuk menepi di antara celah-celah tangga selebar 1,5 meter itu, tapi nyatanya badanku tetap membentur salah seorang dari gerombolan mereka. Orang itu Fitra Abu Rizal. Dia melihatku, tatapannya sangat tidak bersahabat, wajahnya kala itu merengut. Sepersekian detik kemudian, dia memalingkan wajahnya dan melanjutkan berjalan. Lalu, aku menyadari satu hal. Bahwa hari itu bukan pertemuan pertama kami. Ingatanku kembali pada masa kelas 7. Di hari Minggu pagi, saat aku sedang ada kegiatan rutin bersama OSIS. Aku dan beberapa teman perempuanku, anak OSIS, sedang duduk-duduk di depan TU, kami saat itu mengerjakan sesuatu, namun aku lupa sesuatunya apa. Intinya saat itu sedang ada kegiatan, makanya kami anak OSIS memutuskan untuk datang ke sekolah di hari itu. Saat itu, bertepatan pula dengan jadwal latihan ekskul silat SMP. Anak-anak silat sedang berada di tengah lapangan bersama salah satu guru SMP-ku sebagai pembinanya. Lalu, tak lama kemudian, aku melihat kumpulan anak-anak silat itu sedang berlari mengitari lorong SMP-ku. Termasuk melewati tempatku dan teman-temanku di depan TU. Mereka semua semangat sekali berlari. Aku menyapa salah satu temanku, anak OSIS, yang kebetulan sedang mengikuti latihan silat pada waktu itu, namanya Adit. Saat aku memanggilnya, "Aditttt!!!" dia langsung menoleh dan tersenyum. Adit lalu melanjutkan lari berkeliling memutari lorong. Di belakang Adit, ada seorang laki-laki tinggi yang tengah berlari. Saat itu, wajahnya sama sekali tidak bersahabat. Dingin, kaku, dan menurut pandangan subjektifku, dia seperti sedang sebal karena sesuatu. Ya, lelaki dingin itu yang akhirnya kembali muncul di ingatanku. Lelaki yang baru saja bahunya membentur bahuku. Yang melengos pergi begitu saja saat tatapan kami bertemu. Aku tidak mengetahui nama lelaki itu sebelumnya. Tapi saat kami terbentur tadi, mataku memindai jahitan nama pada seragam putih biru yang ada di bagian dada kanan, ... Abu Rizal. Nama belakangnya Abu Rizal. Tapi, aku tidak mengetahui nama depannya. Lalu, karena aku kepo dan merasa tertarik. Maka pencarian nama depannya, langsung menjadi prioritas utamaku saat itu.
Pencarian namanya
Aku mencari-cari informasi anak kelas 9I dengan nama belakang Abu Rizal. Aku menemui informan pertama, namanya Mbak Ratih, dia anak kelas 9I. Kami kenal karena sama-sama mengikuti pembinaan lomba cerdas cermat. Saat itu, aku tidak secara eksplisit bertanya nama depan dari Abu Rizal. Namun, aku memancing dengan satu pertanyaan: "di antara anak kelas 9I, siapa yang paling nakal?". Beberapa nama kemudian disebutkan, tapi tidak ada namanya. Aku sudah mulai putus asa. Lalu, ketika suatu siang aku duduk-duduk di ruang pembinaan, aku melihat tumpukan kertas berisi nama-nama regu pramuka kelas 8 pada tahun ajaran yang lalu beserta nama anggotanya. Aku tahu itu hal yang lancang, namun rasa ingin tahuku telah menguasai pikiran. Aku memindai satu-persatu nama regu pramuka secara urut dari kelas 8A. Lalu, saat aku memeriksa nama-nama di kelas 8F, aku berhenti pada satu nama dari Regu Beruang, "Fitra Abu Rizal". AKU MENEMUKANNYA! Namanya Fitra. Fitra. Fitra. Fitra. Aku tahu namanya, Fitra Abu Rizal.
Menyukainya
Ini adalah part yang paling tidak ingin kutulis. Karena part ini berisi saat-saat di mana aku menyukainya dalam diam, saat-saat dia tidak membalas perasaanku, saat-saat dia terpaksa menyukaiku hanya karena kasihan kepadaku. Aku sangat benci part ini. Tapi, aku harus tetap menceritakannya. Singkat cerita, semesta mendukungku untuk semakin mengenal dia. Kebetulan aku kenal akrab dengan salah satu temannya ketika masih di kelas 8F. Namanya Dadan. Aku dan Dadan bertetangga, kami satu jemputan, dan dia orang yang asyik. Aku sering bertanya bagaimana Fitra ketika kelas 8 pada Dadan. Anak itu selalu menjawab pertanyaanku dengan antusias. Aku merasa sangat senang, meski harus aku akui bahwa perasaanku pada si Fitra itu bertumbuh dengan sangat cepat. Dari apa yang Dadan ceritakan, sebenarnya Fitra adalah orang yang hangat dan peduli sesama. Fitra anak yang cukup pendiam, namun dia tidak menutup diri dari teman-temannya yang lain. Oh satu lagi, kata Dadan, Fitra suka sekali cari perhatian ke teman perempuannya di kelas :) (ya memang dia leter sih -Zabrina, 2022). Aku merasa sangat senang karena informan kali ini, alias Dadan, benar-benar memberikan informasi secara detail. Apalagi Dadan dan Fitra adalah teman akrab ketika kelas 8. Namun, aku tidak menyangka bahwa ketertarikanku bertanya tentang Fitra akan dilaporkan Dadan kepada orangnya langsung. Aku bilang pada Dadan bahwa, "Iya, aku menyukai Fitra," dan kalimat itu disampaikan secara langsung kepada yang bersangkutan. Fitra tahu aku menyukainya. Tapi, Fitra tidak menyukaiku.
Semula, aku tidak tahu bahwa dia tahu. Yang aku tahu adalah, pada suatu hari, ketika aku meminta pertemanan di Facebook, dia meresponku dengan sangat baik. Dia langsung menerima permintaan pertemanan, mengirim pesan padaku lewat Messenger Facebook. Aku merasa gayung bersambut pada saat itu. Chat kami lalu mengalir, aku merasa perasaan sukaku terbalas. Aku tidak mengetahui apa-apa, sampai pada suatu siang, Fitra menyatakan perasaannya bahwa dia menyukaiku. Saat itu, aku tengah bersiap menuju perlombaan futsal karena aku menjadi panitia Kegiatan Tengah Semester (KTS). Karena hujan, aku dan temanku berteduh di sebuah toko yang tutup. Perjalanan menuju tempat futsal masih cukup jauh. Lalu, di tempat itu akhirnya kami resmi bersama. Tanpa aku tahu bahwa dia tidak menyukaiku :)
Hubungan kami dipenuhi perasaan tidak nyaman. Aku selalu merasa dia menghilang, tidak membalas pesanku, dan bertingkah aneh. Dia sering menghilang dengan mengatakan bahwa dia tidak punya HP, dia sibuk, dan sebagainya. Saat itu, aku merasa bahwa ini tidak akan berhasil. Sampai suatu hari di akhir Desember, aku menemukan komentar-komentarnya di akun Facebook seorang perempuan. Di keterangan tanggal lahir akun perempuan itu, tertera bahwa dia lahir tahun 2000. Dia 2 tahun lebih tua dari Fitra. Dan saat ku-scroll foto-fotonya, hampir di setiap postingan, Fitra memberikan komentar. Lalu, aku menyadari ada yang salah di sini. Aku dibodohi. Kemudian, aku beralih pada postingan-postingan Instagram perempuan itu. Ada satu foto di mana perempuan itu mencium bunga mawar, sebuah caption menyertai di bawah foto itu: "Terima kasih, F." aku tahu F yang dimaksud siapa. Aku tahu bahwa ternyata aku dibodohi (lagi). Aku menangis hari itu. Aku menangis karena tidak percaya, bahwa cinta pertama akan sesakit ini.
Tanpa pikir panjang, aku langsung menghubunginya dan meminta penjelasan. Lalu, sebuah pernyataan darinya membuatku hancur. Kenyataan bahwa sebenarnya dia tahu kalau aku menyukainya lebih dulu, kenyataan bahwa dia menghubungiku terlebih dahulu karena merasa kasihan padaku. Kenyataan bahwa dia dan perempuan itu sudah dekat sejak lama, dan dia cinta mati pada perempuan itu. Pernyataannya menghancurkanku. Aku sudah tidak percaya pada siapa pun lagi waktu itu, bahkan aku tidak percaya pada diriku sendiri. Akhirnya, tepat 27 Desember 2016, kami putus.
Balikan
Dengan cukup bahagia, aku melepaskan dia saat itu. Aku menata kembali kehidupanku, kepercayaanku, dan aku mulai melangkah. Meski aku masih sering melihatnya. Meski beberapa kali kami bertemu. Aku membencinya. Aku sangat-sangat membencinya. Aku tidak ingin bertemu dia lagi, pada saat itu. Tiba-tiba, akhir Januari 2017, dia menghubungiku lagi. Menanyakan kabarku. Aku tidak merespon dengan baik waktu itu. Aku membalas chat-nya dengan seketus mungkin. Tapi, aku merasa kali ini dia sangat ngotot. Bodohnya aku, tembok pertahananku runtuh lagi. Aku merasa bisa memaafkan dia. Aku merasa ingin membangun hubungan lagi dengan dia. Lalu, pada 17 Februari 2017, akhirnya kami balikan. Awalnya terasa sangat manis, kami sepertinya saling mencintai. Namun, di sela-sela hubungan, aku merasa bosan. Aku mulai menyukai orang lain secara diam-diam. Aku menyukai Fitra, tapi hatiku terbagi untuk orang lain. Hubungan kami berlanjut sampai tahun pertama terlewati. Aku mencintainya. Tapi rasanya tidak setulus dulu. Hubungan kami penuh pertengkaran karena sifatku sangat kekanakan dan dia juga tidak paham sama sekali dengan kondisi hubungan kami. Beberapa kali rasanya aku ingin mengakhiri hubungan ini saja. Aku terjebak dalam perasaan masih menyukainya, membutuhkannya, tapi aku tidak ingin dikekang untuk menyukai orang lain. Hubungan kami berlanjut sampai Fitra SMK dan aku masuk SMA. Semakin banyak konflik dan pertengkaran, saling membohongi satu sama lain, menyembunyikan perasaan, bertemu hanya untuk merasakan senang yang sementara. Namun, setelah itu, hilang sudah perasaannya. Aku benar-benar tidak dewasa saat itu. Sampai suatu hari, Fitra kembali berbohong, dia bilang "Aku dijodohkan oleh ibuku." Dan bodohnya, aku percaya begitu saja. Aku ketakutan. Aku merasa takut kehilangan dia. Kehilangan perhatiannya. Kehilangan kasih sayang yang darinya. Sampai puncaknya, dia membohongiku, bahwa dia akan segera ditunangkan. Tanpa rasa bersalah, dia bilang bahwa dia hanya bercanda. Dia tidak tahu bahwa aku menangis karena itu. Aku muak, dan akhirnya pertengahan April 2019, kami putus (lagi).
Menjadi rumit (friendzone)
Setelah putus, kami tidak benar-benar lost contact. Dia menghubungiku lagi sejak awal Mei 2019. Dia bilang, dia hanya ingin berteman. Lalu, dimulailah hubungan friendzone di antara kami. Tapi di awal Juni, kemudian aku tahu dia membohongiku lagi. Fitra punya pacar. Dia dengan cepat melupakanku. Dia pacaran dengan adik kelasnya. Dan ironisnya, aku tahu kalau dia berpacaran bukan dari mulutnya, tapi dari mulut orang lain. Aku marah padanya. Aku merasa dikhianati karena dia tidak mengatakan sepatah kata pun padaku soal pacar barunya itu. Dia beralasan, "Buat apa kamu tahu?" (kalau kamu baca ini, ya jujur kamu mabetek Fit). Lebih lucunya lagi, dia masih mendekatiku waktu itu. Namun, aku memilih menghindar saja karena takut membawa masalah besar. Beberapa waktu kemudian, aku mendengar kabar dari temanku bahwa Fitra dan pacarnya sudah putus. Aku dengar-dengar penyebab Fitra dan pacarnya putus adalah karena pacarnya selingkuh. Jujur, aku tertawa puas waktu itu. Aku merasa bahwa rasa sakitku terbalas. Aku merasa menang atas penderitaannya. Akan tetapi, setelah itu dia malah mendekatiku kembali. Mengajakku balikan namun kutolak. Semuanya berlangsung sampai aku menjalin pendekatan dengan laki-laki lain. Dia masih di sana. Peduli padaku. Masih menungguku. Seperti janjinya waktu itu, "Aku dan kamu akan bertemu dalam versi yang lebih baik suatu hari nanti." Aku tidak percaya akan janjinya itu. Namun, tampaknya dia belum juga berhenti. Sampai tahun 2020, hubungan kami menjadi tidak jelas. Kami berteman, tapi dia selalu ada untukku. Setiap membutuhkan apa pun, aku akan menghubunginya. Meskipun, saat itu aku menyukai laki-laki lain, namun setiap aku ingin bercerita, aku akan menelfonnya, bahkan mendatangi rumahnya. Mengobrol dengan saudara-saudaranya dan ibunya. Rumahnya sudah kuanggap rumahku sendiri. Kehadirannya bukan lagi sebagai mantan dalam hidupku, aku menganggapnya kakak laki-laki. Aku tidak ingin lepas dari dia. Tapi, Fitra ingin terikat. Sementara itu, perasaanku padanya telah berganti. Aku tidak mencintainya. Aku menyayanginya selayaknya keluargaku sendiri. Aku telah menganggap dia kakakku, dia keluargaku. Aku tidak ingin kehilangan dia karena aku membutuhkan dia. Namun, aku tahu dia menyimpan perasaan padaku. Dia masih menungguku. Meskipun sudah berkali-kali aku bilang, "Aku tidak bisa balikan. Aku menganggapnya kakakku." Aku ingin membuatnya tetap dekat denganku, aku membutuhkannya. Dan aku takut, suatu hari nanti, jika dia bersama dengan perempuan lain, aku akan kehilangan semua itu. Aku selalu diliputi rasa takut itu. Sampai suatu hari, aku mendapat cobaan besar. Aku kehilangan Bu De-ku, dan entah kenapa sejak saat itu, kami sering beradu argumen. Aku kesulitan mengontrol rasa sedih dan emosi karena kehilangan Bu De-ku, sementara Fitra terus memberikan saran yang menurutku tidak berguna sama sekali. Hubungan kami semakin tidak jelas saja. Yang tersisa dari "persahabatan" ini hanya adu argumen dan pertengkaran. Tidak ada rasa saling memahami, dan aku menyadari bahwa aku harus lepas dari dia.
Block
Singkat cerita, kami berdua sudah kuliah. Aku menjadi maba di UGM, dan dia menjalani kehidupan semester 3 di Polinema. Kami sudah jarang kontak-kontakan semenjak aku kuliah. Mungkin karena tidak ada lagi topik yang bisa dibahas, dan aku merasa tak lagi membutuhkan dia. Kehadirannya bukan lagi penenang untukku. Aku menjalani kehidupan baruku sebagai mahasiswa dengan segala kesibukannya. Sementara, dia dengan kesibukannya sendiri. Tidak ada lagi percakapan penting. Ruang obrolan di antara kami benar-benar kosong. Aku dan Fitra sudah sejauh itu. Sampai suatu waktu, aku memiliki niat untuk menghubunginya lagi. Tapi, WA-nya tidak ada foto profil. Pesanku hanya berakhir di tanda centang satu. Aku menyadari bahwa namanya tidak ada lagi ada pada daftar followers IG-ku bahkan second account-ku. Dia mem-block-ku. Aku tidak tahu kenapa. Aku merasa tidak ada masalah dengannya. Aku berada dalam kebingungan, rasa marah, dan kecewa karena merasa dia telah mendepakku seutuhnya. Sejujurnya, aku terluka saat itu. Namun, aku berpura-pura tegar. Seakan-akan aku sanggup tanpanya, meski sering kali aku terpikir, ingin bercerita lagi, ingin berhubungan baik lagi. Mungkin, ini pertanda dari Tuhan bahwa aku harus berhenti. Aku harus menghapus namanya. Aku harus menghapus foto-fotonya yang masih kusimpan meski kami sudah lama putus. Aku harus menghapus dia dari hidupku.
Kembali
Tahun 2022 kulewati dengan kehidupan baru. Aku menjadi mahasiswa semester 2. Nama Fitra hanya tinggal "nama". Dan aku juga sudah menuliskan itu di kaleidoskop 2021. Sampailah aku di momen Hari Raya Idul Fitri. Biasanya, setiap tahun Fitra akan mengucapkan "minal aidzin" padaku, sama seperti tahun 2021 dan sebelum-sebelumnya. Tapi, kali ini tidak. Dia sudah tidak mem-block-ku lagi. Tapi, kami sama sekali tidak berkomunikasi. Bahkan sekadar memeriksa story WA yang dia buat pun, hampir tidak pernah. Aku benar-benar lepas dari dia. Hingga di 3 hari setelah lebaran, dia menghubungiku kembali. Mengucapkan permintaan maaf. Di situlah aku sadar. Aku harus mengambil keputusan. Aku harus jujur atas diriku. Kebingungan yang aku rasakan saat bersamanya. Perasaan tidak bernama yang tak terdefinisi. Aku menceritakan segalanya. Seluruhnya, dari dalam lubuk hatiku. Tentang aku yang masih membutuhkannya. Aku yang menganggapnya kakak, aku yang tidak bisa lepas darinya, dan aku yang tersiksa dengan perasaan bersalah di masa lalu. Akhirnya, Fitra juga jujur akan perasaannya sendiri. Sampai di suatu titik, aku mengambil keputusan penting, bahwa bagaimana pun aku melihat laki-laki lain. Pada akhirnya, aku selalu kembali pada Fitra. Aku selalu kembali ke tempat paling nyaman yang pernah kutemui. Yang jauh dari kata laki-laki ideal versiku: pintar akademik dan berkacamata. Aku merasa tidak butuh apa-apa lagi. Hanya menjalani hidup dengannya saja. Memperbaiki apa yang bisa kuperbaiki. Memupuk rasa percaya kembali pada laki-laki. Aku pada akhirnya, kembali padanya. Aku sempat berdoa pada Tuhan mengenai jodohku. Aku merasa takut dan tidak percaya pada satu pun laki-laki saat itu. Aku minta ditunjukkan jalan-Nya. Lalu, aku merasa yakin dengan Fitra lagi. Dengan versi baru dari dirinya. Aku menyadari dia sudah jauh lebih dewasa, bertanggung jawab, dan mandiri. Dia tidak seperti Fitra yang kukenal dulu. Proses kehidupan telah mengubahnya jadi pribadi yang lebih baik. Aku merasa aman dan nyaman di dekatnya. Aku kembali padanya.
Catatan Tambahan
Tulisan ini barang kali bisa berubah lagi. Aku tidak tahu ke depan akan seperti apa. Tapi, ketika aku menulis nama laki-laki ini di blog paling rahasia yang kumiliki, seharusnya kalian tahu sepenting apa dia di hidupku. Aku tidak ingin ada tulisan yang jelek-jelek lagi tentangnya, hehe. FYI, nama pena "Randika Elgya Firza", kata "Firza" diambil dari nama gabungan kami berdua. Saking aku merasanya kami begitu terikat. Dan aku tidak rela jika harus mengubah nama pena yang sudah bagus ini. Aku berharap, aku dan Fitra bisa bersama sampai akhir. Hidup menua bersama. Tuhan, tolong kabulkan doaku ini. Aamiin.
Lots of love,
Randika Elgya Firza