twitter


 [26/11/2023]

Menulis ini dengan perasaan penuh dendam pada sesosok laki-laki


DENDAMNYA PEREMPUAN

Oleh: Randika Elgya Neza

Dendamnya perempuan

Tidak perlu angkat senjata

Tidak perlu debat penuh retorika

Tidak perlu relasi kuasa yang mengada-ada


Dendamnya perempuan

Berlumur luka, berlapiskan air mata

Dipenuhi relung-relung nadinya dengan derasnya darah mengalir

Menghujam menghantarkan bibit-bibit dendam dalam tubuh mungil

Berputar dalam relung kosong penuh amarah

Menguap dalam kegelapan malam


Dendamnya perempuan

Dibalik bisik-bisik dinding yang terbang bersama angin

Dibalik raga yang meluruh bersama lantai penuh debu

Dibalik rambut yang berguguran menapaki bahu yang lelah

Dibalik remasan tangan yang mengepal ke angkasa


Perempuan, makhluk lemah katanya

Tapi coba tanya dunia

Dendam apa darinya yang telah berhasil menggonjang-ganjingkan dunia?

Maka, dengarlah

Dendamnya perempuan

Awal mula petaka

Akhir dari manusia

Itulah ultimatumnya.

   


 [Mendengarkan Mitsky - Washing Machine Heart ditemani asam lambung yang naik dan membakar rongga dada karena riwayat GERD]

    Aku selalu takut kepada makhluk bernama laki-laki. Saat Tuhan menceburkan aku ke dunia pada 21 Agustus 2003 di sebuah rumah sakit swasta di Kalianget, dokter laki-lakilah yang pertama kali melihat kelahiranku. Beliau baik. Namun, tidak seperti dokter laki-laki yang bernama Dokter Ibnu itu, ternyata tidak semua laki-laki itu baik.

    Laki-laki kedua yang kutemui dalam hidupku adalah papa. Semua orang mengagumi beliau. Beliau vokal, cerdas, semua kolega takzim padanya. Papaku punya kharisma yang tidak bisa dijelaskan, yang membuat cewek-cewek di SMA-nya suka mengirimkan surat cinta di kolong bangku tempat papa duduk. Papaku, orang yang mengumandangkan azan di telingaku pertama kalinya. Menjalani 3 tahun kehidupan awal bersama papa, yang kuingat bahwa papaku adalah seorang pengangguran (yang setelah pensiun dari perpolitikan, memilih menyepi di rumah selama 2 tahun untuk kemudian memutuskan untuk melamar menjadi dosen). Hidup bersama di awal tahun itu, terasa biasa-biasa saja. Papa memang sering menyentak, ngamuk-ngamuk di telfon kalau kawan kerjanya tidak becus, atau kalau mama tidak menyiapkan barang-barangnya dengan baik. Sebuah amukan yang kuanggap biasa. Sebelum ada insiden besar yang mengubah hidupku.

    Memoriku merekam bahwa peristiwa itu terjadi sekira usiaku 7 tahun. Aku yang terkenal punya ke-sok-tahu-an yang tinggi, suka sekali mengotak-atik barang milik orang lain. Contoh nyatanya adalah ponsel Sony Erickson mama yang kubuka untuk melihat-lihat foto masa kecilku. Begitu pun dengan ponsel papa, sebuah ponsel bermerek sama: Sony Erickson berwarna metalik. Kala itu, papa sedang di rumah, nampak asyik membaca bukunya di teras depan, sementara mama bekerja, dan aku yang baru pulang sekolah memilih menyendiri di kamar. Sebuah notifikasi tiba-tiba berdenting: sebuah SMS masuk di ponsel papa yang tergeletak di meja kamar. Aku yang dipenuhi rasa penasaran, tanpa ragu mengambil ponsel itu. Membuka layar depan dan langsung menuju aplikasi SMS. Betapa terkejutnya aku begitu melihat banyak sekali SMS dari nomor-nomor tak dikenal, bernada seksual. Dan SMS yang baru saja masuk itu, juga bernada sama. Hatiku campur aduk. Marah tak keruan, sangat kecewa. Meskipun aku masih 7 tahun, aku paham maksud SMS itu apa. Aku menyebut SMS itu sebagai SMS pengkhianatan, bukti pengkhianatan papa kepada mamaku; kepada keluarga kami. Saat itu, bertepatan dengan aku yang masih memegang ponsel, papa masuk ke dalam kamar. Ekspresi murka dan suara yang bernada tinggi lantas menyambar diriku. "KAMU NGAPAIN HAH?" Papa merebut ponselnya. Celakanya, aku belum keluar dari aplikasi perpesanan itu, dan dalam sekelibat saja, tangan itu melayang pada pipiku. Tamparan pertama dalam hidupku. Yang sangat menyakitkan. Aku berlari ke kamar mandi. Mengunci diriku di sana. Kiranya ada sejam penuh dengan tangis. Dan sejak itu, aku menobatkan kamar mandi sebagai tempat paling jujur versi Zabrina, tempat aku bisa menemukan diriku, tempat aku menjadi diriku sendiri. Aku memutuskan menyimpan rahasia itu sampai detik aku menulis ini. Sampai kepergian papa. Mama tidak tahu apapun, atau sebenarnya mama juga tahu, tapi memilih tidak menceritakannya padaku.

    Peristiwa bersama papa adalah sebagian kecil dari pemicu aku sangat membenci laki-laki. Peristiwa-peristiwa lainnya adalah saat aku mengetahui bahwa pakdeku selingkuh. Aku benar-benar marah karena bude sudah kuanggap sebagai ibu keduaku di rumah; cinta budeku yang tulus dibalas oleh pengkhianatan. Memang lelaki bangsat. Belum cukup sampai di situ, aku dan sepupuku berkomplot untuk melabrak si pelakor, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana sepupuku (anak dari pakde-bude) beradu mulut, berjambak-jambakan, dengan pelakor gatal yang padahal sudah diperistri polisi itu. Aku masih sekolah dasar saat itu, sehingga yang bisa kulakukan adalah memberi moral support agar sepupuku menang dalam laga perjambakan itu. Peristiwa lainnya yang membuat kebencianku kepada lelaki berkobar adalah saat aku tahu bahwa kakak perempuan tertua papa--yang selama ini dikata-katai "gila"--ternyata pernah diselingkuhi oleh suaminya sampai menjadi gila. Belakangan aku tahu bahwa budeku itu mengidap skizofrenia, akibat trauma perselingkuhan. Lagi-lagi, memang lelaki bangsat. Tidak hanya itu, kakak perempuan papa yang nomor dua, yang selama ini kutahu bahwa suaminya sedang pergi merantau ke luar pulau untuk bekerja, ternyata sudah mentalaknya jauh-jauh hari. Hanya karena satu hal: tidak bisa memberikan keturunan. Kakak perempuan papa yang nomor dua akhirnya sering menutup diri. Aku menduga beliau terkena paranoid disorder; beliau takut bertemu orang, terutama laki-laki, bahkan seringkali beliau melarang-larangku untuk bertemu laki-laki, karena beliau takut aku kenapa-napa. Lagi dan lagi, memang lelaki bangsat. 

    Peristiwa traumatis lain yang mengubah hidupku adalah pelecehan seksual yang aku alami saat berusia 14 tahun. Selama bertahun-tahun aku memendamnya. Semua bermula saat aku dan beberapa kawan perempuanku baru saja menyelesaikan try out kesekian kali untuk menghadapi ujian nasional SMP. Sepulang dari sekolah, kami berlima (kalau tidak salah jumlah) menyetop taksi atau yang lazim disebut "ekkol", moda transportasi murah bagi kami, anak SMP yang uang sakunya hanya selembar tipis Pahlawan Imam Bonjol. Saat itu, kami berlima naik ekkol bersama-sama, namun aku menyadari bahwa keempat temanku ini akan turun terlebih dahulu sebelum aku. Kedua temanku turun di Kebbun, sisanya di roma sake',  dan terakhir di Lison. Dalam ekkol itu, tidak hanya ada aku dan teman-temanku, melainkan ada juga seorang ibu-ibu paruh baya yang duduk di samping sopir, beliau kemudian turun di Lison, bersama dengan salah satu temanku. Adapula seorang laki-laki dengan pakaian yang sudah agak kumal, duduk di tengah, dan tentu saja ada bapak sopir. Ketika seluruh temanku sudah turun, aku yang memang duduk di barisan paling belakang merasa tidak nyaman karena laki-laki ini sering menatapku dengan intens. Aku merasa dia mengawasi gerak-gerikku. Dan benar saja, dia berpindah duduk di sampingku. Aku kemudian terus menggeser dudukku sampai ke ujung jendela di sebelah kanan. Dia juga turut menggeser badannya, menghimpitku yang sudah tergencet berada di antara jendela ekkol dan tubuhnya yang mulai condong ke arahku. Aku rasanya mau menangis saat itu. Tapi aku memilih menghadapinya yang bertanya, "Mbak, ngkok minta'a nomorra," begitu ucapnya padaku. Aku tidak menjawab. Dia semakin berani dan memegang bahuku, lalu bertanya, "Mayu kemma nomorra, Mbak," ujarnya dengan memaksa. Lalu, dengan lancangnya, tangan kanannya itu meremas-remas paha kiriku. Aku benar-benar ingin berteriak: marah, takut, cemas, sedih, bercampur jadi satu. Aku tidak bisa mengelak lagi dan kusebutkan saja sebuah nomor dengan asal-asalan. Tangannya masih terus meremas-remas paha kiriku meskipun aku sudah berupaya menyingkirkan. Aku sudah tidak tahan lagi dan meskipun aku tahu bahwa jalan yang kami lalui masih jauh dari pemberhentian Pelabuhan Kalianget, aku memilih mengatakan, "Kiri, Pak," meringsek keluar dari ekkol itu, membayar uang dua ribu perak, dan berlari sekencang mungkin. Si lelaki yang tadi berada dalam ekkol itu memberikan senyumnya padaku. Senyum mengerikan, sekaligus membuatku trauma setengah mati. Aku baru menyadari bahwa aku turun di Samiren, tempat pemberhentian yang cukup jauh dari rumahku. Namun, aku tidak peduli. Aku memilih berlari sekencang-kencangnya. Sepatuku tersandung-sandung batu. Aku takut lelaki itu mengejarku lagi. Sepanjang perjalanan pulang itu, aku menahan air yang membasahi pelupuk mataku. Dahulu, aku tidak tahu bahwa itu bentuk pelecehan seksual. Setelah SMA, aku baru mengetahuinya. Semenjak peristiwa itu, aku selalu merasa diriku tidak suci. Terlebih, ketika aku langsung melaporkan kejadian itu kepada mamaku dan mengatakan bahwa aku tidak mau naik ekkol lagi, mama malah berujar, "Siah, kamu ini lebay." Dan jawaban mama yang singkat dan pendek itu, menusuk jantungku teramat dalam. Itulah awal mula runtuhnya kepercayaanku pada mama.

    Peristiwa lainnya yang berkaitan dengan laki-laki sebenarnya cukup banyak: termasuk ketika aku difitnah oleh orang kepercayaan papa di rumah. Yang berakhir aku mendapatkan kekerasan fisik dari papaku. Lalu, papa yang setidaknya dalam seminggu sekali mengucapkan "tolol, goblok, nggak becus, dus-nodusi" kepadaku. Belum lagi, ketika aku melihat bagaimana om-ku dengan ringan tangannya memukul anak laki-lakinya ketika dia berbuat salah. Dan ketika halaman taneyan lanjhang-ku senantiasa dimanfaatkan oleh gerombolan laki-laki bawahan pakdeku yang gemar membicarakan kebohaian wanita, mengatai-ngatai fisik perempuan, tertawa-tawa seakan-akan mereka yang berucap itu adalah laki-laki tampan, dan bagaimana ucapan mereka yang pernah kuingat: "Arapa'a nyare bine penter mon tak tao amassak, ben tak mapuas e ranjang." Aku merasa ucapan-ucapan kotor itu seakan menegaskan bahwa mereka-mereka ini laki-laki rendahan.

    Aku juga masih ingat betapa keluarga papa ini gemar membicarakan mamaku--sebagai perempuan pekerja--yang katanya terkesan sombong, seakan-akan paling "segalanya". Aku prihatin karena ternyata orang-orang yang membicarakan dan menjelekkan mama di belakang ini, pada satu waktu, pernah meminjam uang dengan nominal yang besar. Betapa mereka harusnya merasa malu dengan lisan kotor yang senantiasa membicarakan orang lain itu. Ironisnya, sampai detik ini mama tidak tahu penghinaan itu. Sedangkan, aku mengetahuinya. Aku mendengar celotehan-celotehan panas tentang mamaku sejak dulu. Tentu saja, kini setelah papaku berpulang, aku khawatir mama harus menghadapi kejamnya lisan mereka sendirian.


[Saat menulis ini, sedang mendengarkan Adele - Make You Feel My Love volume 100% dan memutar video TikTok volume 100% untuk mengalahkan bisingnya kepalaku]

Halo, 2023.
Berita pertama untuk tahun ini adalah aku kehilangan papaku. Agak sangat kaget karena tanggal 1 Januari aku berharap papa masih akan hidup setidaknya sampai aku lulus kuliah. Ternyata, 2023 merenggut papa 4 hari kemudian. Perasaanku saat itu bagaimana? Seperti serangan jantung kecil, ralat bukan kecil, besar dan memuakkan. Aku tahu ke depannya aku harus "dipaksa" hidup, "dipaksa" memaafkan, "dipaksa" kuat, dan segala "dipaksa-dipaksa" lainnya sebagai anak tunggal harapan keluarga. Ketika papa meninggal, hal pertama yang aku pikirkan tentu saja ingin menyusul. Oh iya, bagaimana aku bisa lupa bahwa sebenarnya yang tidak ingin hidup adalah diriku sendiri, bukan papa. Makanya, aku sempat (dan sejujurnya masih marah) kenapa papa yang dipanggil. Bukankah lebih baik jika aku saja yang pergi? Aku kan sudah bilang sejak jauh jauh jauh jauh hari, bahwa penyesalan terbesarku (bisa dibilang) adalah terlahir sebagai aku. Aku selalu menjawab seandainya aku diberi kesempatan terlahir kembali, maka aku memilih untuk tidak mengambil kesempatan itu. Men, di tengah malam, ketika remaja-remaja itu menggalau apakah pacarnya selingkuh atau tidak, ketika mereka menggalau tentang keadaan ekonomi keluarganya, aku menggalau kenapa aku terlahir ke dunia. Aku selalu berpikir, "seandainya aku nggak terlahir, seandainya aku nggak terlahir sebagai aku, aku sekarang sedang apa, di planet apa, punya keluarga siapa, dan hidup sampai berapa lama". Aku hidup dalam kepalaku--setiap malam--tanpa henti kepalaku berputar. 

Kalau boleh jujur, aku sudah hancur sejak lama. Sejak lamaaaaaa. Aku tidak tahu pastinya kapan. Tapi kalau sekarang kau lihat aku masih utuh dan bertambah gemuk karena lemaknya menumpuk di bagian perut dan pipiku, maka sesungguhnya itu adalah Zabrina palsu. Aku yang asli sudah hancur sejak lama. Sudah lama sekali rasanya aku merasa jadi manusia normal. Terus sekarang apa dong, Zab? Jujur, aku menganggap diriku sudah tidak normal. Orang normal mana yang dalam sehari bisa berpikir bunuh diri lebih dari sekali. Orang normal mana yang panik karena tiap hari mendengar suara orang berteriak-teriak dan memanggilnya. Orang normal mana yang kepikiran untuk menangis di makam saja seharian. Orang normal mana yang menganggap pacarnya adalah bapak kandungnya. Orang normal mana yang menganggap semua manusia di sekitar adalah musuhnya. Orang normal mana yang post SW suami dan bapak orang secara rutin dan mendeklarasikan diri untuk menjadi biasnya Rivan Nurmulki. Orang normal mana yang memberi motivasi untuk hidup padahal dirinya menangis tiap malam. Orang normal mana yang sayang sekali sama pacarnya tapi mendeklarasikan diri tidak mau menikah dan bercita-cita mati muda.

Sedikit cerita, aku sudah berjanji pada psikologku untuk setidaknya bertahan sampai umur 20 tahun. Setelah itu? Tidak tahu. Satu-satunya rencana yang ingin aku capai dan sangat ingin aku capai adalah mencapai umur 20 tahun. Itu prestasi besar, amboi. Bayangkan saja bagaimana kita melewati hari-hari berat itu. Wah, Zabrina, kalau kau kembali pada belasan tahun lalu ketika mendeklarasikan diri untuk mati muda dengan pisau dapur tumpul bergagang kayu yang sampai sekarang dipake mamamu memotong daging ayam itu, harusnya kau berbangga hati. Kurang dari 2 bulan lagi, akhirnya angka 20 itu tiba. Angka yang paling kau benci, sekaligus kau nanti-nanti. Kita sudah sampai sejauh itu ternyata. Maka, untuk menghargai perjuanganmu sendiri, patuhilah kata psikologmu tercinta, Bunda Nunung, penyelamat mahasiswa-mahasiswa gila di UGM yang dengan tulus hati melayani kita-kita ini. 
Salah satu cara untuk membuktikan kepada papa bahwa Zabrina adalah orang yang kuat, setidaknya Zabrina mau ya bertahan sampai umur 20 tahun. Yuk, Zabrina pasti bisa!

Zabrina, sekarang sudah lewat tengah tahun. Bulan Juni penuh kutukan setiap tahun karena kita pasti mencoba bunuh diri di bulan ini. Meskipun kemarin sempat mencoba di kosan dengan selimut andalan dan kipas tua, tapi ternyata kewarasan kita masih menang, Zab. Setidaknya kita masih bertahan melewati fase-fase depresif yang panjang dan tak pernah berakhir ini. Mantra-mantra penenang dari psikolog ternyata berhasil membuat kita bertahan, teman-teman baik hati yang menanyakan kondisimu, dan pacarmu yang meskipun sangat menyebalkan itu ternyata rela mengirimkan Paket Hemat 3 Hokben favoritmu dengan sedikit tulisan cringe yang patut untuk dihargai bintang 10 juta karena dia sama sekali tidak bisa words of affirmation. 

Zabrina, sekarang sudah lewat tengah malam. Meskipun kepalamu penuh dengan bisikan-bisikan dan ketika menulis ini kamu menggunakan separuh otakmu saja untuk berpikir. Bersyukurlah untuk satu hal. Bersyukurlah karena kamu masih bisa menulis. Bersyukurlah karena menulis membuatmu lebih hidup di tengah kehidupan yang membuatmu megap-megap ingin gantung diri itu. Bersyukurlah karena kamu dikaruniai kata-kata abstrak di otakmu untuk kamu tumpahkan dalam tulisan super maha tidak jelas ini. Bersyukurlah karena kamu tidak memilih meninggalkan menulis meskipun kamu tidak masuk jurusan sastra. Bersyukurlah dengan bakat ini, Zabrina. Dengan tulisan-tulisan ini, yang ketika kamu baca saat sadar, kamu tahu bahwa kamu pernah sesekarat ini, sebersyukur ini, seingin berjuang ini. Zabrina, tengah tahun berikutnya, haruslah jadi tengah tahun yang lebih menguatkanmu. Lebih membuatmu ingin bertahan. Lebih membuatmu melihat dunia dengan lebih ... baik (?). Terima kasih ya, sudah mau hidup sebagai Zabrina.

 


 1/1/2023

Mendengarkan playlist "Lagu Teratasmu di 2021"

            Beberapa hal seringkali tidak berjalan dengan baik. Kalimat itu adalah salah satu pembelajaran utama yang aku dapatkan di tahun 2022. Jika boleh aku mendeskripsikan 2022 dengan satu kata, maka jawabannya hanya satu: menantang. Saat menulis ini, aku sedang dalam kondisi "baik", tidak merasa "sedih" ataupun "senang". Namun, jika dua spektrum emosi itu dibandingkan di sepanjang rentang tahun 2022, aku akan dengan lugas mengatakan bahwa sebagian besar tahun ini berisi rasa "sedih". Tidak dimungkiri, aku bak seorang nelayan pemula yang mengarungi lautan Samudera Hindia dengan perahu kayuku, tanpa alat bantu kompas dan hanya mengandalkan layar perahu yang lambat laun terkoyak karena ganasnya angin. Lalu, aku terombang-ambing di tengah-tengah lautan, meringkuk di tengah perahu. Tapi herannya, aku sama sekali tidak mengirimkan sinyal "SOS" kepada kapal-kapal besar yang lewat, seolah menikmati badai yang datang menerpaku. Tahun 2022 adalah pembelajaran hidup berharga. Tapi satu ketakutan terbesarku untuk tahun depan adalah, aku pernah (dan selalu berjanji) untuk mengakhiri hidupku di 2023. Janji yang kubuat saat umur 9 tahun, 11 tahun, 14 tahun, 17, 18, dan 19 tahun. Tidak ada angka 20 dalam kehidupanku. Aku tidak suka angka 20. Tahukah kamu, hal pertama yang aku pikirkan ketika 2022 akan berakhir dan 2023 akan dimulai adalah: aku akan menangis ketika ternyata aku bisa mencapai umur 20. Ingatkan aku untuk membeli kue ulang tahun dengan desain kapal pecah dan aku ingin meniup lilin angka 20 dengan mulutku sendiri, I swear!

            Aku menyelami kehidupan begitu dalam sebagai manusia sensitif. Kurasa 2022 membawaku melatih intuisiku sebagai manusia sensitif. Aku dihadapkan dengan manusia-manusia paling putus asa dan paling optimis mengenai hidupnya. Ada yang bersyukur karena aku memahami pahitnya hidup mereka, ada yang menganggap aku lebay, adapula yang tidak menganggapku apa-apa. Biasanya, aku akan terganggu dengan tipe orang kedua, aku akan marah mencak-mencak kepada mereka, tapi rasanya 2022 ini aku dilatih untuk langsung "membuang" mereka dari hidupku. Terkesan lebay. Tapi ini hidupku. Aku tidak mengusik kalian, jadi jangan mengusikku. Aku ingin sedikit membanggakan diriku yang lebih berani di tahun 2022 ini, berani menyuarakan pendapatku, kegilaanku, dan aib-aibku. Aku sudah tidak peduli kata orang lagi. Aku merasa 2022 mengajarkan aku bahwa ya ... aku pasti sendiri. Aku akan dihisab sendiri, menjalani kehidupan setelah kematian sendiri, apalagi kehidupan. Tidak ada yang buruk dengan hidup sendiri. Tidak ada yang buruk dengan tidak ada teman. Tidak ada yang buruk dengan tanpa pencapaian. Tidak ada yang buruk dengan berubahnya pendapat dan prinsip seseorang. Iya, pertengahan akhir 2022 telah mengubahku: mengubah prinsip dan konsep hidupku. Aku tidak bisa mengatakan ini sebagai sebuah kemunduran, Tapi, buatku, Zabrina tanpa ambisi itu seperti bukan Zabrina. Zabrina tanpa ambisi itu seperti menyalahi tujuan hidupnya. Tapi setelah berpikir cukup panjang, tahun 2023 aku ingin mengurangi kegiatanku. Sangat mengurangi.

            Aku sudah memutuskan untuk pensiun kepanitiaan di semester depan. Begitupun dengan organisasi dan UKM, meskipun mungkin aku tidak mundur, aku memilih untuk "menjaga jarak" dari UKM-UKM ini. Aku hanya punya waktu untuk organisasi yang memang aku minati dan menjalani satu program magang di satu pusat studi fakultas yang memang aku minati. Mungkin di 2023, aku hanya akan fokus pada perlombaan dan persiapan-persiapan magang, juga mungkin akan mengatur waktu untuk menyempatkan datang ke psikolog lagi. Aku sudah lama tidak mengunjungi Sardjito, barangkali psikiater dan psikologku di sana sedang memikirkan aku (aku tahu aku GR). Oh iya, sebenarnya aku juga berniat ikut PKM sih, doakan semoga realisasinya benar-benar terjadi dan semesta mendukung ya. Hm, apalagi ya, mungkin hanya itu yang aku harapkan untuk 2023. Tidak ada planning beasiswa sejauh ini karena aku sangat kapok. Mungkin masih kapok lebih tepatnya, tapi mungkin di pertengahan 2023 bisa saja semuanya berubah, I guess? 

            Rencana 2023 sudah kutulis. Yang berikutnya tentu satu bagian khusus untuk mengapresiasi orang-orang baik dalam hidupku. Pertama, mungkin kalian akan kaget aku menulis ini, tapi ucapan pertama adalah untuk kedua orang tuaku. Khususnya untuk mamaku. Wanita paling keren sedunia. Tidak ada yang bisa menandingi ketangguhan mamaku di tahun 2022. Terima kasih karena mama berusaha mengerti "anak aneh"-nya ini. Tidak lagi bertanya kenapa aku senang "mengurung diri" di duniaku sendiri. Ya karena beginilah anakmu, Ma. Membangun dunia dalam pikirannya sendiri dan tidak suka berinteraksi dengan orang lain. Toh, ketika diminta bersosialisasi, keahlian "bunglon"-ku bisa kugunakan, kok. Urusan manipulasi kepribadian itu sesuatu yang sudah sangat kukuasai (menurutku). Aku bisa menjadi sangat rame jika kalian memintanya. Bisa menjadi sangat murung. Bisa menjadi sangat pemarah. Bisa menjadi sangat pemaaf. Tapi yang bisa meminta itu hanya orang-orang yang aku "pilih" dalam hidupku. Salah satu orang dalam list orang pilihan itu tentu saja Risma Dewi Yana. Aku bisa menunjukkan spektrum emosi yang berbeda di depannya, bisa membuka topengku, bisa menjadi kalem namun juga barbar. 

        Untuk mamaku, yang membiayai aku sampai S1, aku benar-benar berterima kasih untuk keikhlasan dan keluasan hatinya menerima anak tunggalnya tidak masuk teknik dan terkhusus ITS. Aku tahu kampus Vivat itu memang bagus karena warnanya biru (dan aku suka warna biru). Tapi ternyata kampus Vivat itu memang tidak cocok untukku yang sudah bersumpah tidak akan pernah mau bertemu Fisika dalam hidupku lagi. Also, maaf juga karenanya trah ITS itu terputus pada generasi 3 alias aku. Maaf sekali tapi aku bersyukur karena akhirnya aku bisa menyetani adik sepupuku paling bontot untuk tidak masuk ITS (ketawa jahat). Untuk mama, yang aku tidak sangka sudah berkepala 5. Aku tidak merasa ada yang berubah dari mama satupun. Masih sama seperti saat umur mama 30 tahun-an. Aku sangat tidak rela mama menua sedangkan anaknya ini masih bolak-balik hidup dalam isi kepalanya sendiri. Apalagi mama dan aku ini seperti sepaket nasi dan lauk atau kaos kaki dan sepatu, saling melengkapi, berdempet, dan tidak mau lepas. I am not sure tapi mama pernah bilang mau ikut aku ketika aku menikah nanti (InsyaAllah mama akan aku bawa ke Korea Selatan dan nanti kita akan tinggal bertiga: aku, Mark Lee, mama). Tidak-tidak, itu bohong. Mungkin akan dengan Fitra karena sepertinya mama sudah sangat berkomplot dengan manusia itu sampai seringkali chat di belakangku tanpa aku tahu (kalian ngomong apa sih). Tapi kalo ternyata bukan Fitra, mungkin aku akan datang bersalaman di pelaminannya dan meninju kepalanya supaya tidak macam-macam dengan istrinya karena pasti aku akan membela istrinya mati-matian. Atau kemungkinan lainnya, aku bahkan lebih dulu pergi dari mama. Tapi aku tahu, kalimat ini terkesan kejam, meskipun kematian memang sangat dekat dengan kita. Atau mungkin, aku dan mama hanya akan hidup berdua saja sampai akhir waktu, berkeliling dunia dan aku akan mengabdikan seluruh hidupku untuk menulis. Aku dan mama against the world!

                Untuk papaku, yang berjuang keras bertahan hidup. Aku mengangkat topi untuk segala limpahan pelajaran hidup berharganya, baik itu bahagia maupun sengsara. Tanpa papa, aku tidak akan hadir di dunia. Tanpa papa, aku tidak akan mengenal Ekonomi. Salah satu mata pelajaran paling berguna di dunia, no debat! Aku masih cinta Ekonomi, Pa. Tapi hidupku dan aku memang sudah tertulis Psikologi, hehe, peace. Untuk papa yang merindukan aku ketika kuliah. Untuk papa yang berharap aku segera pulang ke rumah ketika semester berakhir. Untuk buku-buku papa yang membuka mataku akan dunia-dunia ekstrem dan menantang yang bisa aku jelajahi dalam pikiranku. Tanpa pencapaian-pencapaian papa dan pemberontakan anti IPA di keluarga sehingga ketika aku memilih kuliah Soshum, tidak ada saudara-saudara papa yang hobi ngece lagi. Bagus, Pa. Memang menjadi pembangkang di keluarga itu mengasyikkan. Sebagaimana papa yang tiba-tiba membuat saudara-saudaranya kaget karena alih-alih memilih IPA, papa malah memilih IPS dengan pedenya sampai kakak-kakak papa mencak-mencak. Dan sekarang pembangkangan itu dilanjutkan anak berkepala batunya yang tiba-tiba tidak ingin melanjutkan trah Ekonomi dan beralih pada ilmu orang gila. Sekarang aku paham pepatah bahwa darah memang lebih kental daripada air. Aku terlalu mirip dengan papa sampai aku membencinya. Cara kita memandang sesuatu, cara kita memperjuangkan ambisi, mempertahankan pendirian, cara kita menjaga harga diri. Tanpa diajari, ternyata papa menurunkannya padaku. Aku bilang papa itu mengerikan. Ternyata, aku merasa diriku juga "mengerikan". Tapi aku merasa ini tidak buruk, Pa. Dan tahukah papa bahwa aku dulu sangat anti dan ingin mencari pasangan yang jauh berbeda dari karakter papa, tapi ternyata aku bertemu Fitra yang seperti papa hanya saja tempramennya dia lebih baik dan kemampuan mengolah emosinya jauh lebih baik. Tapi dari segi cara kerja, pendirian, prinsip, bahkan muka juga hampir mirip. Memang naluri diri ini sungguh luar biasa. Oh, satu lagi, kemampuan mendekati perempuannya juga hampir mirip. Speechless

                Section ini adalah khusus sahabat-sahabatku di manapun berada. Risma, Rindang, Lyla, Devita, Patris, Chesya. Kumpulan manusia ber-MBTI NF (intuition-feeling) yang sepertinya satu frekuensi karena semuanya adalah jenis manusia sensitif sepertiku. Yang bahkan bisa tahu perasaan orang hanya dari gerak-geriknya. Terutama ketika semesta yang mempertemukan aku dengan Lyla, plek ketiplek pola pikirnya sama, dunia khayalannya sama, dan biasnya sama-sama Jeon Wonwoo dari Seventeen. Bahkan ketika kita mengobrol di ruang dan dimensi manapun, selalu ada kata-kata, "Eh iya, aku juga mikir begitu tau!" "Eh, aku sering banget ngerasain itu tau!" "Eh, aku sering banget ngelakuin itu tahu kalo lagi ..." Dan beragam kesamaan gila lainnya, bahkan sampai tipe cowok yang sama, I think this is crazy. Tapi kami juga punya beberapa perbedaan sih. Seperti misalnya dia pernah bertemu Wonu secara langsung, sedangkan aku masih bermimpi bertemu Wonu sampai detik ini. Lalu, untuk Devita, Patris, dan Chesya, partner kelompok terbaik yang pernah aku temui sepanjang perkuliahan. Terutama untuk Devita yang membelikan aku Mixue (FYI Dev, sekarang Mixue viral dan sepertinya Mixue Tugu langganan kita akan makin ramai sampai kita harus ngemper makan es krim di trotoar). Atau untuk Patris yang suprisingly alumni manusia "aneh-aneh" dan sedang membantuku untuk tidak "aneh-aneh". Doakan ya Pat, aku tidak aneh-aneh dengan selimut, gunting, Baygon, atau lantai 4 kosan lagi. Kita harus hidup lama Patris. Kita harus jadi psikolog baik hati dengan gaji dua digit dengan keluarga yang punya parenting baik. Aamiin. Doakan ya semoga nanti biro psikologiku lebih laku daripada dukun-dukun di Madura. Atau kalau ternyata aku tidak bisa jadi psikolog, aku bisa membantu anak berkebutuhan khusus (ABK) untuk mendapatkan terapi dan stimulasi sensori untuk tumbuh kembang mereka. Atau aku akan secara sukarela ingin menjadi tenaga psikologi di RSJ. Dan tentunya, aku ingin jadi penulis. Aku masih ingin menjadi penulis. Penulis yang menulis apapun. Penulis yang bercerita dengan tangan dan perasaannya. Aku percaya dengan kemampuanku satu itu. Meskipun mungkin tulisanku tidak sebagus itu untuk dikomersilkan, tapi dengan menulis aku merasakan kehidupan. Tulisan apapun yang kuhasilkan dari tangan dan hatiku adalah sebuah kejujuran. Sebagaimana motto blog ini: menulis untuk hidup, hidup untuk menulis. Aku tidak sedih ketika tulisanku jelek, aku lebih sedih kalau ternyata aku tidak menulis sama sekali. Huhu, maaf blogku, kamu aku campakkan 4 bulan belakangan ini. 

                Oh iya, selanjutnya aku ingin berterima kasih pada Fitra. Apa ya, dibilang akur, kami malah sering bertengkar. Tapi hidup kami memang isinya pertengkaran (haha). Sebagaimana alumni daddy issues, kita berdua sudah sama-sama paham soal rasa sakit. Bedanya, Fitra adalah manusia selow, aku adalah manusia lebay. Kadang dia bikin kesal, tapi kadang dia itu selalu menemukan cara untuk membuat aku tertawa. Kalau boleh jujur, sejauh ini, bahkan cuma dia lelaki yang aku percaya, padahal dia dulu buaya. Kalo katanya, sekarang dia sudah "diikat sama pawang", I mean dia dengan setulus hati mendeklarasikan sebagai "buaya tobat", kayak "Hei, lu tuh ngapa anjrot". Aku tahu ada kemungkinan kami ternyata tidak berjodoh. Tapi tidak apa-apa. Kemungkinan terburuk itu sudah aku pikirkan jauh-jauh hari. Aku tidak akan mengkhawatirkan itu karena aku tahu bahwa kalau kenyataan membawaku pada kesendirian lagi, aku sudah terbiasa dan terlatih. Aku hanya ingin bersama dia untuk sekarang. Untuk mengisi salah satu ruang untuk perasaan kasih sayang dan perasaan ditemani. Dia itu baik. Hanya saja perlu untuk sedikit mengubah cara pandang yang biasa aku lakukan ketika menghadapinya. Kita lihat apakah ucapanku ini konsisten karena aku manusia yang bisa saja mengubah ucapan dan pendapat yang pernah diucapkannya. Sejauh ini, Fitra sudah kuanggap keluargaku, teman hidupku, dan temanku bertengkar. Aku tidak pernah mau bilang dia pacarku, karena dia lebih dari itu. Dia partnerku. Dia kritikus nomor satu. Dia komedian nomor satu di hidupku. Dia partner bertengkar nomor satu di hidupku. Dia partner terbaik dalam membahas rencana hidupku. Dia yang menyeimbangkan idealismeku dengan prinsip realistisnya. Dia yang membuat aku menatap masa sekarang dan menyeimbangkan ambisiku. Dia yang paling bisa menerima segala spektrum emosi yang aku keluarkan. Dia masih nomor satu. Dalam kehidupan nyataku, dia masih paling aku yakini untuk masa depanku. 

                Untuk Risma, aku tidak bisa menyebutkan secara detail tentang dirimu karena aku tidak bisa menjabarkan seberapa banyak perasaan sayang ini. Aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Di kehidupan selanjutnya, kalau memang ada, aku akan dengan senang hati meminta pada semesta untuk menjadikan kita teman dekat sekali lagi. Aku sudah tidak bisa membalas pesan-pesan baikmu dengan kata-kata panjang lagi. Tapi kamu tahu bahwa hatiku sudah membalasnya dengan sangat banyak kalimat yang tak terucap dan tersampaikan. Risma, aku turut bahagia untuk segala pencapaian yang sudah kamu capai. Yang sudah kita capai. Kita sudah terlalu banyak mengarungi rasa sedih. Entah kenapa, aku optimis kalau kamu akan bertahan hidup lama, Ris. Ada banyak mimpi-mimpi yang mungkin tidak bisa kita wujudkan lagi. Tapi aku percaya dengan memilih "bertahan", itu seperti membuka peluang-peluang lainnya. Bertahan mungkin adalah kata sepele untuk orang lain. Tapi bagi kita, itu satu kata sakral yang tidak bisa dilewatkan selain kata "berjuang". Ada banyak rasa rindu yang ingin aku sampaikan tapi rasanya belum bisa tersampaikan sampai aku menulis ini untuk kamu. Aku di sini, Ris. Masih ada di sini dan jangan ragu untuk terus datang ke aku dalam situasi apapun. Aku cukup sedih karena kamu sudah jarang cerita meskipun ya, aku juga sudah cukup jarang cerita dalam beberapa waktu yang berlalu ini. Untukmu, semoga semesta lebih banyak mengucurkan kebahagiaan lagi di masa-masa mendatang. Aamiin.

            Untuk 2023. Tidak banyak harapanku. Sebagaimana yang telah kusebutkan di atas. Harapan utamaku adalah hidup lebih lama. Iya, aku ingin hidup lebih lama. Rasa ingin hidup ternyata melebihi rasa ingin mati. Aku ingin bisa melewati 8 Januari tanpa harus berpikir untuk menyusul Bude-ku lagi sebagaimana 8 Januari pada 2 tahun terakhir yang dipenuhi keinginan bunuh diri. Aku tahu memang Bude pernah berjanji untuk menemaniku meskipun janji itu tidak bisa ditepati. Aku bahagia Bude sudah tidak merasakan sakit duniawi lagi karena aku tahu bahwa dengan membiarkan Bude lebih lama hidup, akan ada banyak penderitaan yang manusia gila itu berikan. Mungkin memang Bude diambil semesta untuk kebahagiaan yang selama ini beliau perjuangkan. Meskipun dengan begitu, Bude meninggalkan aku sendirian. Aku tanpa Bude memang tidak sempurna lagi. Tapi hidup, bagi orang-orang yang ditinggal mati, memang harus tetap berjalan. Tidak ada pilihan. Tidak ada kompromi. Tidak ada yang bisa dikembalikan lagi. Bude sudah pergi.

            Harapan duniawi berikutnya adalah tentang mengurangi rasa kebencian dan ketidakpercayaan. Ada banyak hal yang tidak bisa aku tulis di blog ini karena ini menyangkut kebencian dan ketidakpercayaanku pada beberapa orang di 2022. Namun, aku sadar bahwa manusia memang tempat salah dan aku rasa, aku sudah tidak ada energi untuk membicarakan keburukan orang lain. Aku sedang ingin menempatkan diriku dalam posisi tidak "menyerang" siapa pun. Saat ini, aku ingin 2023-ku berjalan dengan lebih baik. Aku ingin lebih menyayangi banyak orang dan bertemu banyak orang baik yang membawaku berkembang.

            Semesta, kalau firman-Mu mengatakan bahwa penciptaan manusia adalah karena tujuan-tujuan mulia. Aku meminta dengan segenap hatiku agar Semesta membantuku dalam setiap inchi pergerakan yang aku lakukan. Aku ingin lebih "hidup" dan merasa "dekat" dengan diri-Mu. Hubungan kita memang pasang-surut. Tapi aku sangat percaya bahwa hubungan kita justru yang paling indah di antara hubungan-hubunganku yang lain. Semesta, untuk 2023, aku ingin "kehidupan". Beri aku kehidupan yang "baik" dengan bimbingan-Mu, aamiin.


Happy for us,

Randika.


 PERJALANAN

Oleh: Randika Elgya Firza

Fajar menyingsing, membawa raga melayang

Ingar-bingar roda besi jadi musik alami

Temani diri menerawang keindahan alam

        Roda-roda itu bergerak, mengantar tuannya dengan riang

        Antara dua bukit, antara dua lembah

        Angin turut menari-nari, membisikkan mantra-mantra pagi penuh sukacita

Bak sebuah pepatah, "bahkan semesta turut bahagia tentang rasa"

Utarakan rasa itu lewat debar memburu penumpangnya

Rasa itu bernama "rindu"

Ia menyelinap dalam tiap aliran darah, mencabik-cabik rasa di tengah bunyi roda

Zaman perpisahan akan musnah, zaman kerinduan akan merdeka

Antarkan dua hati yang terpisah, di antara sekian gerbong panjang membentang

Lantas, menang sudah kerinduan, sebab ia diantar perjalanan


Note:

Aku menulis ini karena tidak jadi ke Malang. Sedih sih, tapi aku yakin Fitra paham. Makanya, aku tulis satu puisi ini untuknya. Selamat istirahat <3


18/7/2022

Sedang mendengarkan playlist OST. Drama Korea dan lagu-lagu Dewa 19

        Hari ini aku ingin bercerita banyak tentang seseorang. Seseorang yang namanya mungkin sering kusebutkan dalam blog ini. Seseorang yang namanya pernah aku tulis sebagai kata lain dari "kebencian". Kamu pasti tahu itu. Namanya Fitra Abu Rizal. Entah berapa kali namanya tertulis di buku catatan harianku, blog, bahkan tulisan-tulisanku sejak SMP. Selalu dia. Aku pertama kali menuliskan namanya di buku catatan harian kelas 8 SMP, saat aku menyadari bahwa aku menyukainya.

        Pertama kali bertemu
       Aku lupa kapan pertama kali kami bertemu, tapi sepertinya waktu itu di pertengahan November 2016. Aku membentur seorang laki-laki yang ada dalam rombongan anak kelas paling mengerikan. Anak kelas 9I yang terkenal nakal-nakal itu. Dia ada di sana. Bersama dengan orang-orang nakal yang sangat familiar sebab sering sekali dipanggil ke depan saat upacara karena berbuat onar. Kesan pertama aku melihatnya adalah dia menakutkan, dia nakal, dia cuek, dan tingginya tidak normal untuk seukuran anak kelas 9. Waktu itu, aku masih kelas 8, dan selayaknya adik kelas yang melihat gerombolan kakak kelas melintas, aku harus menepi. Apalagi ini kelas 9I. Hanya ada dua risiko jika aku tidak menepi waktu itu, aku akan digoda-goda (sebagaimana kebiasaan gerombolan laki-laki jika berkumpul) atau aku akan mendapat masalah lain yang tidak kubayangkan sebelumnya. Aku sudah mengupayakan diri untuk menepi di antara celah-celah tangga selebar 1,5 meter itu, tapi nyatanya badanku tetap membentur salah seorang dari gerombolan mereka. Orang itu Fitra Abu Rizal. Dia melihatku, tatapannya sangat tidak bersahabat, wajahnya kala itu merengut. Sepersekian detik kemudian, dia memalingkan wajahnya dan melanjutkan berjalan. Lalu, aku menyadari satu hal. Bahwa hari itu bukan pertemuan pertama kami. Ingatanku kembali pada masa kelas 7. Di hari Minggu pagi, saat aku sedang ada kegiatan rutin bersama OSIS. Aku dan beberapa teman perempuanku, anak OSIS, sedang duduk-duduk di depan TU, kami saat itu mengerjakan sesuatu, namun aku lupa sesuatunya apa. Intinya saat itu sedang ada kegiatan, makanya kami anak OSIS memutuskan untuk datang ke sekolah di hari itu. Saat itu, bertepatan pula dengan jadwal latihan ekskul silat SMP. Anak-anak silat sedang berada di tengah lapangan bersama salah satu guru SMP-ku sebagai pembinanya. Lalu, tak lama kemudian, aku melihat kumpulan anak-anak silat itu sedang berlari mengitari lorong SMP-ku. Termasuk melewati tempatku dan teman-temanku di depan TU. Mereka semua semangat sekali berlari. Aku menyapa salah satu temanku, anak OSIS, yang kebetulan sedang mengikuti latihan silat pada waktu itu, namanya Adit. Saat aku memanggilnya, "Aditttt!!!" dia langsung menoleh dan tersenyum. Adit lalu melanjutkan lari berkeliling memutari lorong. Di belakang Adit, ada seorang laki-laki tinggi yang tengah berlari. Saat itu, wajahnya sama sekali tidak bersahabat. Dingin, kaku, dan menurut pandangan subjektifku, dia seperti sedang sebal karena sesuatu. Ya, lelaki dingin itu yang akhirnya kembali muncul di ingatanku. Lelaki yang baru saja bahunya membentur bahuku. Yang melengos pergi begitu saja saat tatapan kami bertemu. Aku tidak mengetahui nama lelaki itu sebelumnya. Tapi saat kami terbentur tadi, mataku memindai jahitan nama pada seragam putih biru yang ada di bagian dada kanan, ... Abu Rizal. Nama belakangnya Abu Rizal. Tapi, aku tidak mengetahui nama depannya. Lalu, karena aku kepo dan merasa tertarik. Maka pencarian nama depannya, langsung menjadi prioritas utamaku saat itu. 
        Pencarian namanya
        Aku mencari-cari informasi anak kelas 9I dengan nama belakang Abu Rizal. Aku menemui informan pertama, namanya Mbak Ratih, dia anak kelas 9I. Kami kenal karena sama-sama mengikuti pembinaan lomba cerdas cermat. Saat itu, aku tidak secara eksplisit bertanya nama depan dari Abu Rizal. Namun, aku memancing dengan satu pertanyaan: "di antara anak kelas 9I, siapa yang paling nakal?". Beberapa nama kemudian disebutkan, tapi tidak ada namanya. Aku sudah mulai putus asa. Lalu, ketika suatu siang aku duduk-duduk di ruang pembinaan, aku melihat tumpukan kertas berisi nama-nama regu pramuka kelas 8 pada tahun ajaran yang lalu beserta nama anggotanya. Aku tahu itu hal yang lancang, namun rasa ingin tahuku telah menguasai pikiran. Aku memindai satu-persatu nama regu pramuka secara urut dari kelas 8A. Lalu, saat aku memeriksa nama-nama di kelas 8F, aku berhenti pada satu nama dari Regu Beruang, "Fitra Abu Rizal". AKU MENEMUKANNYA! Namanya Fitra. Fitra. Fitra. Fitra. Aku tahu namanya, Fitra Abu Rizal.
        Menyukainya
        Ini adalah part yang paling tidak ingin kutulis. Karena part ini berisi saat-saat di mana aku menyukainya dalam diam, saat-saat dia tidak membalas perasaanku, saat-saat dia terpaksa menyukaiku hanya karena kasihan kepadaku. Aku sangat benci part ini. Tapi, aku harus tetap menceritakannya. Singkat cerita, semesta mendukungku untuk semakin mengenal dia. Kebetulan aku kenal akrab dengan salah satu temannya ketika masih di kelas 8F. Namanya Dadan. Aku dan Dadan bertetangga, kami satu jemputan, dan dia orang yang asyik. Aku sering bertanya bagaimana Fitra ketika kelas 8 pada Dadan. Anak itu selalu menjawab pertanyaanku dengan antusias. Aku merasa sangat senang, meski harus aku akui bahwa perasaanku pada si Fitra itu bertumbuh dengan sangat cepat. Dari apa yang Dadan ceritakan, sebenarnya Fitra adalah orang yang hangat dan peduli sesama. Fitra anak yang cukup pendiam, namun dia tidak menutup diri dari teman-temannya yang lain. Oh satu lagi, kata Dadan, Fitra suka sekali cari perhatian ke teman perempuannya di kelas :) (ya memang dia leter sih -Zabrina, 2022). Aku merasa sangat senang karena informan kali ini, alias Dadan, benar-benar memberikan informasi secara detail. Apalagi Dadan dan Fitra adalah teman akrab ketika kelas 8. Namun, aku tidak menyangka bahwa ketertarikanku bertanya tentang Fitra akan dilaporkan Dadan kepada orangnya langsung. Aku bilang pada Dadan bahwa, "Iya, aku menyukai Fitra," dan kalimat itu disampaikan secara langsung kepada yang bersangkutan. Fitra tahu aku menyukainya. Tapi, Fitra tidak menyukaiku.
       Semula, aku tidak tahu bahwa dia tahu. Yang aku tahu adalah, pada suatu hari, ketika aku meminta pertemanan di Facebook, dia meresponku dengan sangat baik. Dia langsung menerima permintaan pertemanan, mengirim pesan padaku lewat Messenger Facebook. Aku merasa gayung bersambut pada saat itu. Chat kami lalu mengalir, aku merasa perasaan sukaku terbalas. Aku tidak mengetahui apa-apa, sampai pada suatu siang, Fitra menyatakan perasaannya bahwa dia menyukaiku. Saat itu, aku tengah bersiap menuju perlombaan futsal karena aku menjadi panitia Kegiatan Tengah Semester (KTS). Karena hujan, aku dan temanku berteduh di sebuah toko yang tutup. Perjalanan menuju tempat futsal masih cukup jauh. Lalu, di tempat itu akhirnya kami resmi bersama. Tanpa aku tahu bahwa dia tidak menyukaiku :)
        Hubungan kami dipenuhi perasaan tidak nyaman. Aku selalu merasa dia menghilang, tidak membalas pesanku, dan bertingkah aneh. Dia sering menghilang dengan mengatakan bahwa dia tidak punya HP, dia sibuk, dan sebagainya. Saat itu, aku merasa bahwa ini tidak akan berhasil. Sampai suatu hari di akhir Desember, aku menemukan komentar-komentarnya di akun Facebook seorang perempuan. Di keterangan tanggal lahir akun perempuan itu, tertera bahwa dia lahir tahun 2000. Dia 2 tahun lebih tua dari Fitra. Dan saat ku-scroll foto-fotonya, hampir di setiap postingan, Fitra memberikan komentar. Lalu, aku menyadari ada yang salah di sini. Aku dibodohi. Kemudian, aku beralih pada postingan-postingan Instagram perempuan itu. Ada satu foto di mana perempuan itu mencium bunga mawar, sebuah caption menyertai di bawah foto itu: "Terima kasih, F." aku tahu F yang dimaksud siapa. Aku tahu bahwa ternyata aku dibodohi (lagi). Aku menangis hari itu. Aku menangis karena tidak percaya, bahwa cinta pertama akan sesakit ini. 
        Tanpa pikir panjang, aku langsung menghubunginya dan meminta penjelasan. Lalu, sebuah pernyataan darinya membuatku hancur. Kenyataan bahwa sebenarnya dia tahu kalau aku menyukainya lebih dulu, kenyataan bahwa dia menghubungiku terlebih dahulu karena merasa kasihan padaku. Kenyataan bahwa dia dan perempuan itu sudah dekat sejak lama, dan dia cinta mati pada perempuan itu. Pernyataannya menghancurkanku. Aku sudah tidak percaya pada siapa pun lagi waktu itu, bahkan aku tidak percaya pada diriku sendiri. Akhirnya, tepat 27 Desember 2016, kami putus.

        Balikan
    Dengan cukup bahagia, aku melepaskan dia saat itu. Aku menata kembali kehidupanku, kepercayaanku, dan aku mulai melangkah. Meski aku masih sering melihatnya. Meski beberapa kali kami bertemu. Aku membencinya. Aku sangat-sangat membencinya. Aku tidak ingin bertemu dia lagi, pada saat itu. Tiba-tiba, akhir Januari 2017, dia menghubungiku lagi. Menanyakan kabarku. Aku tidak merespon dengan baik waktu itu. Aku membalas chat-nya dengan seketus mungkin. Tapi, aku merasa kali ini dia sangat ngotot. Bodohnya aku, tembok pertahananku runtuh lagi. Aku merasa bisa memaafkan dia. Aku merasa ingin membangun hubungan lagi dengan dia. Lalu, pada 17 Februari 2017, akhirnya kami balikan. Awalnya terasa sangat manis, kami sepertinya saling mencintai. Namun, di sela-sela hubungan, aku merasa bosan. Aku mulai menyukai orang lain secara diam-diam. Aku menyukai Fitra, tapi hatiku terbagi untuk orang lain. Hubungan kami berlanjut sampai tahun pertama terlewati. Aku mencintainya. Tapi rasanya tidak setulus dulu. Hubungan kami penuh pertengkaran karena sifatku sangat kekanakan dan dia juga tidak paham sama sekali dengan kondisi hubungan kami. Beberapa kali rasanya aku ingin mengakhiri hubungan ini saja. Aku terjebak dalam perasaan masih menyukainya, membutuhkannya, tapi aku tidak ingin dikekang untuk menyukai orang lain. Hubungan kami berlanjut sampai Fitra SMK dan aku masuk SMA. Semakin banyak konflik dan pertengkaran, saling membohongi satu sama lain, menyembunyikan perasaan, bertemu hanya untuk merasakan senang yang sementara. Namun, setelah itu, hilang sudah perasaannya. Aku benar-benar tidak dewasa saat itu.  Sampai suatu hari, Fitra kembali berbohong, dia bilang "Aku dijodohkan oleh ibuku." Dan bodohnya, aku percaya begitu saja. Aku ketakutan. Aku merasa takut kehilangan dia. Kehilangan perhatiannya. Kehilangan kasih sayang yang darinya. Sampai puncaknya, dia membohongiku, bahwa dia akan segera ditunangkan. Tanpa rasa bersalah, dia bilang bahwa dia hanya bercanda. Dia tidak tahu bahwa aku menangis karena itu. Aku muak, dan akhirnya pertengahan April 2019, kami putus (lagi).

        Menjadi rumit (friendzone)
        Setelah putus, kami tidak benar-benar lost contact. Dia menghubungiku lagi sejak awal Mei 2019. Dia bilang, dia hanya ingin berteman. Lalu, dimulailah hubungan friendzone di antara kami. Tapi di awal Juni, kemudian aku tahu dia membohongiku lagi. Fitra punya pacar. Dia dengan cepat melupakanku. Dia pacaran dengan adik kelasnya. Dan ironisnya, aku tahu kalau dia berpacaran bukan dari mulutnya, tapi dari mulut orang lain. Aku marah padanya. Aku merasa dikhianati karena dia tidak mengatakan sepatah kata pun padaku soal pacar barunya itu. Dia beralasan, "Buat apa kamu tahu?" (kalau kamu baca ini, ya jujur kamu mabetek Fit). Lebih lucunya lagi, dia masih mendekatiku waktu itu. Namun, aku memilih menghindar saja karena takut membawa masalah besar. Beberapa waktu kemudian, aku mendengar kabar dari temanku bahwa Fitra dan pacarnya sudah putus. Aku dengar-dengar penyebab Fitra dan pacarnya putus adalah karena pacarnya selingkuh. Jujur, aku tertawa puas waktu itu. Aku merasa bahwa rasa sakitku terbalas. Aku merasa menang atas penderitaannya. Akan tetapi, setelah itu dia malah mendekatiku kembali. Mengajakku balikan namun kutolak. Semuanya berlangsung sampai aku menjalin pendekatan dengan laki-laki lain. Dia masih di sana. Peduli padaku. Masih menungguku. Seperti janjinya waktu itu, "Aku dan kamu akan bertemu dalam versi yang lebih baik suatu hari nanti." Aku tidak percaya akan janjinya itu. Namun, tampaknya dia belum juga berhenti. Sampai tahun 2020, hubungan kami menjadi tidak jelas. Kami berteman, tapi dia selalu ada untukku. Setiap membutuhkan apa pun, aku akan menghubunginya. Meskipun, saat itu aku menyukai laki-laki lain, namun setiap aku ingin bercerita, aku akan menelfonnya, bahkan mendatangi rumahnya. Mengobrol dengan saudara-saudaranya dan ibunya. Rumahnya sudah kuanggap rumahku sendiri. Kehadirannya bukan lagi sebagai mantan dalam hidupku, aku menganggapnya kakak laki-laki. Aku tidak ingin lepas dari dia. Tapi, Fitra ingin terikat. Sementara itu, perasaanku padanya telah berganti. Aku tidak mencintainya. Aku menyayanginya selayaknya keluargaku sendiri. Aku telah menganggap dia kakakku, dia keluargaku. Aku tidak ingin kehilangan dia karena aku membutuhkan dia. Namun, aku tahu dia menyimpan perasaan padaku. Dia masih menungguku. Meskipun sudah berkali-kali aku bilang, "Aku tidak bisa balikan. Aku menganggapnya kakakku." Aku ingin membuatnya tetap dekat denganku, aku membutuhkannya. Dan aku takut, suatu hari nanti, jika dia bersama dengan perempuan lain, aku akan kehilangan semua itu. Aku selalu diliputi rasa takut itu. Sampai suatu hari, aku mendapat cobaan besar. Aku kehilangan Bu De-ku, dan entah kenapa sejak saat itu, kami sering beradu argumen. Aku kesulitan mengontrol rasa sedih dan emosi karena kehilangan Bu De-ku, sementara Fitra terus memberikan saran yang menurutku tidak berguna sama sekali. Hubungan kami semakin tidak jelas saja. Yang tersisa dari "persahabatan" ini hanya adu argumen dan pertengkaran. Tidak ada rasa saling memahami, dan aku menyadari bahwa aku harus lepas dari dia.

    Block
        Singkat cerita, kami berdua sudah kuliah. Aku menjadi maba di UGM, dan dia menjalani kehidupan semester 3 di Polinema. Kami sudah jarang kontak-kontakan semenjak aku kuliah. Mungkin karena tidak ada lagi topik yang bisa dibahas, dan aku merasa tak lagi membutuhkan dia. Kehadirannya bukan lagi penenang untukku. Aku menjalani kehidupan baruku sebagai mahasiswa dengan segala kesibukannya. Sementara, dia dengan kesibukannya sendiri. Tidak ada lagi percakapan penting. Ruang obrolan di antara kami benar-benar kosong. Aku dan Fitra sudah sejauh itu. Sampai suatu waktu, aku memiliki niat untuk menghubunginya lagi. Tapi, WA-nya tidak ada foto profil. Pesanku hanya berakhir di tanda centang satu. Aku menyadari bahwa namanya tidak ada lagi ada pada daftar followers IG-ku bahkan second account-ku. Dia mem-block-ku. Aku tidak tahu kenapa. Aku merasa tidak ada masalah dengannya. Aku berada dalam kebingungan, rasa marah, dan kecewa karena merasa dia telah mendepakku seutuhnya. Sejujurnya, aku terluka saat itu. Namun, aku berpura-pura tegar. Seakan-akan aku sanggup tanpanya, meski sering kali aku terpikir, ingin bercerita lagi, ingin berhubungan baik lagi. Mungkin, ini pertanda dari Tuhan bahwa aku harus berhenti. Aku harus menghapus namanya. Aku harus menghapus foto-fotonya yang masih kusimpan meski kami sudah lama putus. Aku harus menghapus dia dari hidupku.

    Kembali
        Tahun 2022 kulewati dengan kehidupan baru. Aku menjadi mahasiswa semester 2. Nama Fitra hanya tinggal "nama". Dan aku juga sudah menuliskan itu di kaleidoskop 2021. Sampailah aku di momen Hari Raya Idul Fitri. Biasanya, setiap tahun Fitra akan mengucapkan "minal aidzin" padaku, sama seperti tahun 2021 dan sebelum-sebelumnya. Tapi, kali ini tidak. Dia sudah tidak mem-block-ku lagi. Tapi, kami sama sekali tidak berkomunikasi. Bahkan sekadar memeriksa story WA yang dia buat pun, hampir tidak pernah. Aku benar-benar lepas dari dia. Hingga di 3 hari setelah lebaran, dia menghubungiku kembali. Mengucapkan permintaan maaf. Di situlah aku sadar. Aku harus mengambil keputusan. Aku harus jujur atas diriku. Kebingungan yang aku rasakan saat bersamanya. Perasaan tidak bernama yang tak terdefinisi. Aku menceritakan segalanya. Seluruhnya, dari dalam lubuk hatiku. Tentang aku yang masih membutuhkannya. Aku yang menganggapnya kakak, aku yang tidak bisa lepas darinya, dan aku yang tersiksa dengan perasaan bersalah di masa lalu. Akhirnya, Fitra juga jujur akan perasaannya sendiri. Sampai di suatu titik, aku mengambil keputusan penting, bahwa bagaimana pun aku melihat laki-laki lain. Pada akhirnya, aku selalu kembali pada Fitra. Aku selalu kembali ke tempat paling nyaman yang pernah kutemui. Yang jauh dari kata laki-laki ideal versiku: pintar akademik dan berkacamata. Aku merasa tidak butuh apa-apa lagi. Hanya menjalani hidup dengannya saja. Memperbaiki apa yang bisa kuperbaiki. Memupuk rasa percaya kembali pada laki-laki. Aku pada akhirnya, kembali padanya. Aku sempat berdoa pada Tuhan mengenai jodohku. Aku merasa takut dan tidak percaya pada satu pun laki-laki saat itu. Aku minta ditunjukkan jalan-Nya. Lalu, aku merasa yakin dengan Fitra lagi. Dengan versi baru dari dirinya. Aku menyadari dia sudah jauh lebih dewasa, bertanggung jawab, dan mandiri. Dia tidak seperti Fitra yang kukenal dulu. Proses kehidupan telah mengubahnya jadi pribadi yang lebih baik. Aku merasa aman dan nyaman di dekatnya. Aku kembali padanya.

    Catatan Tambahan
    Tulisan ini barang kali bisa berubah lagi. Aku tidak tahu ke depan akan seperti apa. Tapi, ketika aku menulis nama laki-laki ini di blog paling rahasia yang kumiliki, seharusnya kalian tahu sepenting apa dia di hidupku. Aku tidak ingin ada tulisan yang jelek-jelek lagi tentangnya, hehe. FYI, nama pena "Randika Elgya Firza", kata "Firza" diambil dari nama gabungan kami berdua. Saking aku merasanya kami begitu terikat. Dan aku tidak rela jika harus mengubah nama pena yang sudah bagus ini. Aku berharap, aku dan Fitra bisa bersama sampai akhir. Hidup menua bersama. Tuhan, tolong kabulkan doaku ini. Aamiin.





Lots of love,
Randika Elgya Firza


 8/7/2022

11:15

    Aku duduk di pojokan kasur. Meratapi nilai Psikologi Organisasi yang benar-benar di bawah ekspektasi. Aku tahu, aku tidak jago di matkul itu. Aku memang jarang aktif di kelas untuk bertanya. Namun, aku pernah beberapa kali bertanya saat matkul itu. Nilai kuisku selalu aman, tidak pernah di bawah angka 80. Bahkan aku pernah mendapatkan nilai 100 saat kuis kedua. Aku tidak mengharapkan nilai A, karena aku tahu nilai UTS-UAS-ku hanya ada di kisaran angka 60. Akan tetapi, kemarin aku mendapatkan berita buruk. Nilai akhir Psikologi Organisasiku B+, IYA B+!

    Aku hanya terdiam ketika tahu nilai Indeks Prestasi Sementara (IPS) langsung anjlok dari 3,9 menjadi 3,7. Aku awalnya tidak ingin memercayai itu, aku melihat nilai itu berulang-ulang kali. Tidak berubah. Aku coba refresh lagi. Masih belum berubah juga. Lalu, aku panik. Aku mencari-cari letak kesalahanku di mana. Apakah aku ada yang kelewat tidak mengumpulkan tugas? Atau bagaimana? Tapi setelah kucek di eLOK, aku mengumpulkan semua tugas. Aku mengerjakan tugas-tugasku dengan maksimal. Tidak ada yang buruk selain dua nilai UTS-UAS yang menurutku masih pantas dihargai dengan nilai A/B. Aku tidak berharap dengan nilai A. Aku tahu kapasitasku tidak untuk mendapatkan nilai itu. Tapi, nilai B+? Bukankah itu keterlaluan? Bukankah sepertinya kesalahan tidak murni ada dalam diriku?

    Aku mencoba menghubungi teman satu kelompokku. Ternyata, ia mendapatkan nilai B-! Kami sama-sama terkejut. Karena kami merasa nilai itu terlalu rendah untuk usaha yang kami lakukan. Sejujurnya, sejak awal, aku tidak sreg dengan dosennya. Sebab beliau memang galak dan aku merasakan sedikit aura kesombongan setiap beliau berbicara. Namun, aku tidak menyangka bahwa beliau akan setega ini. Ini benar-benar di luar dugaanku. 

    Aku lemas. Aku tidak ingin makan rasanya. Aku kecewa pada beliau. Tapi aku lebih kecewa pada diriku sendiri. Aku meluangkan banyak waktu untuk tugas PIO. Aku merasa ini agak tidak adil. Aku menangis seharian. Aku tidak mengerti apa yang harus kulakukan selanjutnya. Apa yang harus kukatakan pada kedua orang tuaku? Bagaimana aku harus menjelaskan nilai itu kepada mereka?

    Tuhan, aku benar-benar terpuruk. Awalnya aku tidak ingin menangis. Awalnya aku ingin bodo amat. Tapi tidak bisa Tuhan. Aku hanya bisa menangis. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan selanjutnya. Aku hanya bisa menulis ini. Merangkai kata-kata penghibur untuk kebodohanku. Tuhan, aku hanya ingin mendapatkan nilai yang lebih baik dari ini. Targetku di semester ini diturunkan. Worst case-nya, IPK-ku masih di angka 3,8 dan best case-nya, aku ingin tetap mendapatkan nilai 3,9. Aku tidak ingin muluk-muluk mendapatkan IPK 4. Tidak, aku tahu batas kemampuanku. Tapi setiap pergantian semester, selalu banyak hal-hal yang membuatku tersiksa. 

    Ya Tuhan, aku harus apa?